Rencana judicial review terhadap
qanun Hukum Jinayat Aceh oleh sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di
Jakarta mendapat kecaman keras dari Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Qanun
Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat dinilai tidak bertentangan dengan
KUHAP.
Ketua Badan Legislasi Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh, Iskandar Usman Al-Farlaky mengatakan, perkara
judicial review qanun jinayat tersebut yang dilakukan oleh segelintir LSM di
Jakarta dituding melanggar KUHAP merupakan omong kosong.
“Salah besar, jika ada yang
mereka-reka bahwa Qanun Jinayat bertentangan dengan KUHAP. Semua sudah selesai
dibahas dan didiskusikan dengan melibatkan banyak pakar hukum, termasuk sudah
dikonsultasikan dengan pihak Jakarta. Tidak ada kontradiksi apapun sehingga
qanun ini dinyatakan sah dan dapat diberlakukan,” ujar Iskandar Usman, Sabtu
(3/10) di Banda Aceh.
Katanya, qanun hukum jinayat itu
telah sesuai dalam Undang-undang Pemeirntah Aceh (UUPA) sebagaimana termaktub
dalam Pasal 1 angka 21 UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Proses
pembentukan qanun itu sendiri tetap tunduk pada ketentuan UU Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
“Kekhususan yang telah diberikan
kewenengan untuk Aceh jangan coba-coba diusik. Ini adalah aturan yang
dibenarkan dalam konstitusi kekhususan melaksanakan syariat Islam,” tegasnya.
Katanya, proses pembahasan hingga
pengesahan qanun tersebut telah melibatkan berbagai stakeholder seperti
kepolisian, kejaksaan, kementerian hukum dan HAM, ulama dan bahkan tentara.
“Jadi aneh kalau masih dituding
bahwa qanun tersebut bertentangan dengan kerangka hukum nasional. Malah menurut
saya, qanun nomor 6 tahun 2014 dan Qanun nomor 7 tahun 2013 tentang hukum acara
jinayat merupakan salah satu pembaharuan yang memperkaya tatanan hukum di
Indonesia,” katanya.
Bahkan pasca disahkan DPRA
Oktober 2014 lalu, katamya, qanun tersebut sengaja tidak langsung dinyatakan
berlaku melainkan menunggu selama satu tahun, yaitu pada Oktober tahun
ini sebagai tenggat yang disediakan khusus bagi upaya sosialisasi.
“Hal ini adalah bukti bahwa qanun
jinayat memang sudah dipersiapkan sebaik mungkin,” paparnya.
Iskandar memang tidak menampik
awal pembentukan qanun tersebut sempat muncul pertentangan dari beberapa
organisasi masyarakat sipil di Aceh. Pertentangan tersebut menyasar pada
potensi diskriminasi terhadap kalangan minoritas dan pelanggaran terhadap HAM.
“Itu kan hanya opini yang sengaja
dikembangkan oleh pihak-pihak yang tidak menginginkan syariat Islam
diberlakukan di Aceh. Apalagi kalau ada yang membenturkan antara hukum syariat
dengan kaum homo, lesbian dan sebagainya, ya sudah pasti tidak akan pernah
nyambung,” pungkasnya.[]