Mayoritas pemikir politik Islam, seperti Al Imam
al-Mawardi Rahimahulloh dalam kitabnya, “Al-Ahkâm Ash-Shulthâniyyah”,
menegaskan bahwa pemerintahan yang sah untuk menjamin kelestarian sosial dalam
suatu Negara atau daerah adalah wajib hukumnya, baik menurut akal maupun
syara’. Menurut akal, tidak mungkin ada suatu Negara atau daerah tanpa
pemerintahan yang dipimpin oleh kepala Negara atau daerah. Sebab, jika
demikian, maka masyarakat akan hidup tanpa ada pihak yang mencegah terjadinya
kedhaliman dan tidak ada yang akan menyelesaikan perselisihan dan persengketaan
(tanâzu’ wa takhâshum). Sedangkan menurut syara’, kepala Negara
atau daerah diperlukan untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan, juga
masalah keagamaan. Sedangkan untuk membentuk atau melestarikan pemerintahan
yang sah, membutuhkan proses pemilihan dan suksesi.
ISLAM & KEKUASAAN
Pemilihan kepala negara sama artinya dengan memilih
Khalifah pada masa awal kematian Nabi dahulu, semuanya harus tetap mengacu pada
aturan main yang ditetapkan oleh Islam.
Di dalam Islam, tidak ada pemisahan antara agama dan
negara, agama dan politik atau agama dan kepemimpinan, semuanya satu kesatuan.
Karena hidup kita ini diatur oleh agama dari hal yang paling kecil sampai pada
hal yang terbesar. Hidup adalah tingkah laku, dan tingkah laku dibatasi oleh
norma agama termasuk tingkah laku dalam berpolitik.
BOLEHKAH MEMILIH PEMIMPIN WANITA DI DALAM ISLAM ???
Seputar Ketentuan Pemimpin wanita :
- Tidak Ada Nabi dan Rasul Wanita
(Nabi dan Rasul adalah refleksi dari pemimpin, baik
dalam skala besar maupun dalam skala kecil, dan suka atau tidak suka, mereka
adalah contoh, pedoman atau acuan bagi manusia lainnya)
Rujukannya lihat :
“Dan kalau Kami bermaksud menjadikan Rasul itu dari
golongan malaikat, tentulah Kami jadikan dia berupa laki-laki.” (QS. Al-An’aam: 9)
“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang
laki-laki yang kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri.” (QS. Yusuf: 109)
“Kami tiada mengutus Rasul-rasul sebelum kamu
(Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada
mereka. “
(QS. Al-Anbiyaa’: 7)
Imam dalam sholat tidak boleh wanita, kecuali
makmumnya juga wanita (berdasarkan Imam Hanafi, Syafi’i, dan Hambali)
- Laki-laki Sudah Ditetapkan Sebagai Pemimpin Wanita
Rujukannya :
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita.” (QS. An-Nisaa’: 34)
Ayat ini memang konteksnya berbicara seputar rumah
tangga, akan tetapi secara logikanya, seorang kepala rumah tangga saja haruslah
laki-laki, apalagi seorang kepala negara yang notabene sebagai kepala atau
pemimpin dari banyak kepala keluarga lain, maka tidak bisa lain, dia haruslah
laki-laki.
- “Dan anak laki-laki tidaklah sama dengan anak wanita.” (QS. Ali Imran: 36)
- Hadits :
شرح السنة للبغوي (10/ 76)
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ، قَالَ: لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ
كِسْرَى قَالَ: «لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً».
“Diriwayatkan dari Abu Bakrah,
katanya: Tatkala sampai berita kepada Rasulullah bahwa orang-orang Persia
mengangkat raja puteri Kaisar, Beliau bersabda: Tidak akan pernah beruntung
keadaan suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya pada seorang perempuan.”
(HR. Bukhari, Turmudzi dan An-Nasa’i)
Hadits tersebut menjelaskan, bahwa suatu kaum yang
menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita, tidak akan mendapatkan
keberuntungan. Padahal, meraih sebuah keberuntungan dan menghindarkan diri dari
kesusahan adalah sebuah anjuran. Dari sini, Ulama berkesimpulan bahwa wanita
tidak diperkenankan menduduki tampuk kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara.
Ketentuan semacam ini, menurut al-Qâdhi Abû Bakr ibn al-’Arabiy merupakan
konsensus para ulama.
Sedangkan untuk kekuasaan yang cakupannya lebih
terbatas, semisal pemimpin daerah, keabsahan kepemimpinan wanita masih menjadi
perdebatan para ulama. Perbedaan ini, dilatarbelakangi adanya perbedaan sudut
pandang dalam menilai kepemimpinan semacam ini, apakah termasuk bagian dari
kekuasaan, persaksian, ataukah fatwa.
Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi’i berpendapat
bahwa wanita tidak berhak menjadi pemimpin, meski dalam lingkup yang lebih
terbatas. Sebab, bagaimanapun juga, menjadi pemimpin, baik dengan kekuasaan
luas maupun terbatas, pada hakikatnya sama. Yang membedakan hanyalah wilayah
kekuasaannya semata. Padahal, Rasulullâh jelas-jelas melarang seorang wanita menjadi
pemimpin.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita dapat
menjadi penguasa dalam urusan harta. Beliau berpandangan, ketika wanita
diperbolehkan memberikan kesaksian dalam urusan harta, berarti memberikan
keputusan dalam wilayah tersebut juga sudah semestinya diperbolehkan.
Ibn Jarîr ath-Thabariy, memiliki pandangan yang lebih
longgar dalam permasalahan ini. Beliau berpendapat bahwa wanita dapat menjadi
pemimpin daerah secara mutlak dalam semua hal. Dalam pandangan beliau,
kepemimpinan semacam ini, identik dengan fatwa. Padahal, Rasulullâh sendiri
merestui dan melegalkan seorang wanita untuk memberikan fatwa, sebagaimana
sabda yang beliau sampaikan;
“Ambillah separuh ajaran agama kalian dari Khumayrâ’ ini”.
Prinsipnya, menurut beliau, setiap orang yang memiliki
kredibilitas untuk menengahi pertikaian atau persengketaan di antara manusia,
(tanpa memandang jenis kelamin, entah laki-laki ataukah perempuan) maka
keputusan hukumnya legal dan sah-sah saja, kecuali hal-hal yang memang telah
diputuskan oleh ijma’, yaitu masalah kepemimpinan besar (al-imamah
al-kubra).
PERTANYAAN YANG TIMBUL …
- Bagaimana dengan pemerintahan Ratu Saba’ yang dikenal bernama Balqis? Ratu Balqis menjadi kepala negara, jauh sebelum dia mengenal Islam dan dipercaya kawin dengan Nabi Sulaiman. Setelah dia ditundukkan oleh Sulaiman dan menjadi istrinya, otomatis yang menjadi kepala negara adalah Sulaiman, bukan lagi Balqis.
- Apakah Islam melakukan diskriminasi terhadap perempuan ?
Islam tidak melakukan diskriminasi.Untuk memimpin suatu negara, orang harus
benar-benar total, baik dalam waktu, pikiran maupun resiko dan tanggung
jawabnya bahkan terkadang harus rela disibukkan oleh aktifitasnya, menghadiri
rapat di berbagai kesempatan, melakukan perjalanan dinas dan seterusnya yang
tentu saja sulit dilakukan oleh seorang wanita, karena ia juga harus melayani
suami dan anak-anak sebagai tugas utamanya.
“Bagi para wanita, mereka punya hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang benar. Akan tetapi para suami memiliki
satu tingkatan kelebihan dari pada istrinya.” (QS. Al-Baqarah: 228)
“Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu
bertanggung jawab atas kepemimpinanmu. Laki-laki adalah pemimpin dalam
keluarganya, dan dia harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya itu.
Perempuan adalah pemimpin dlm rumah suaminya dan diapun bertanggung jawab
terhadap kepemimpinannya.” (Hadits Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dari Ibnu Umar)
Dalam sejarah, Nabi SAW mengikutsertakan wanita dalam
medan perang, namun mereka bukan dijadikan umpan peluru, tetapi sebagai
prajurit yang bertugas memberikan pertolongan bagi mereka yg terluka seperti
dicontohkan oleh Fatimah Az-Zahrah puteri Beliau sendiri, kemudian wanita juga
mempersiapkan konsumsi seperti dilakukan oleh ‘Aisyah, istri Beliau. Bahkan
Khadijah istri Nabi yang pertama adalah seorang saudagar (pengusaha).
Sesudah Nabi wafat, Khalifah Umar, sahabatnya,
mengangkat Ummu Asy-syifa’ Al-Anshariah sebagai pengawas dan pengontrol pasar
Madinah.
Bagaimana bila kepala negaranya wanita
dan wakilnya pria ? Ini terbalik, Al-Qur’an dan Hadits tidak membenarkan wanita memimpin pria,
istri memimpin suami, Imam wanita Makmum laki-laki.
Lalu bagaimana bila suatu saat si wakil melengserkan
si pemimpin yang sebelumnya adalah wanita ? Tetap saja pada waktu pemilihan pertama, sang pemimpin adalah wanita dan sang
wakil adalah laki-laki, tetap bertentangan dengan ajaran Islam.
Kapan kita boleh memilih wanita sebagai pemimpin ? Bila sudah tidak ada lagi laki-laki Islam yang mampu jadi
pemimpin!
sumber: www.nahimunkar.com