[cover] Desain: Maimun Yulif |
Institusi adat meulaot dipimpin oleh seseorang
yang dipanggil dengan sebutan Panglima Laot. Dalam perkembangannya, Panglima
laot ini juga sering disebut sebagai institusi adat adat yang mempunyai
kewenangan untuk mengatur berbagai adat yang berkaitan dengan aktivitas nelayan
menangkap ikan di laut serta penyelesaian sengketa yang terjadi antar nelayan.
Hal ini berarti bahwa panglima laot dapat sebagai institusi adat dan dapat pula
disebut sebagai sebutan bagi orang yang memimpin (ketua) lembaga adat tersebut.
Peran institusi ini menjadi semakin penting dalam kehidupan masyarakat nelayan
di provinsi Aceh. Hal ini karena dengan semakin tingginya tingkat kompetisi penangkapan ikan yang terjadi antar nelayan pada masa
kini, persengketaan antar nelayan juga semakin sering terjadi. Karenanya,
eksistensi lembaga ini yang berperan sebagai lembaga adat yang mengontrol
pelaksanaan tata adat laut dalam masyarakat Aceh juga semakin signifikan.
Dalam catatan
sejarah, panglima laot telah eksis sejak era kesultanan Aceh Darussalam,
khususnya saat Sultan Iskandar Muda memimpin kesultanan ini. Pada era
kesultanan Aceh Darussalam, panglima laot merupakan perpanjangan tangan sultan
untuk menguasai wilayah laut dengan tugas adalah mengambil dan penerima pajak.
Di era perang melawan penjajahan Belanda, panglima laot mengambil fungsi
sebagai mobilisator warga untuk melawan penjajah. Sementara pascapenjajahan,
panglima laot berfungsi sebagai pemimpin adat laut yang menjalankan berbagai
adat istiadat yang berkaitan dengan laut (Emtas, 2015).
Dari perpektif
perundang-undangan, institusi panglima laot diakui dalam system hukum
Indonesia. Pada tahun 1990,
Pemerintah Aceh yang pada masa itu bernama Provinsi Daerah Istimewa Aceh mengeluarkan
Peraturan Daerah Nomor 2/1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat Istiadat,
Kebiasaan-kebiasaan Masyarakat beserta Lembaga Adat, yang menyebutkan bahwa
Panglima Laôt adalah orang yang memimpin adat istiadat, kebiasaan yang berlaku
di bidang penangkapan ikan di laut. Pascaperistiwa tsunami 24 Desember 2004,
tahun 2006 Panglima Laot mendapat pengakuan Undang-undang No 11 tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh (UUPA, pasal 98 – 99 dan pasal 162 ayat (2) huruf e),
kemudian Undang-undang tersebut dijabarkan kedalam Qanun
Aceh No. 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat dan
Qanun Aceh No. 10 tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
Eksistensi lembaga
panglima laot juga telah diakui oleh lembaga internasional yang memayungi
masyarakat nelayan. Pada tahun 2005, panglima laot diakui sebagai salah satu
lembaga konservasi bertaraf internasional oleh lembaga yang bernama Wildlife Conservation Society (WCS)
(Zulhamsyah, 2014:52). Pada tahun 2008, ia juga diakui keanggotaannya sebagai
organisasi nelayan dunia oleh World Forum of
Fisher People (WFFP).
Pada masa lalu, sebagaimana jabatan pemerintahan lainnya,
jabatan panglima laut merupakan jabatan yang diwariskan secara turun menurun
dalam suatu keluarga di suatu wilayah masyarakat (Syamsuddin, 2014:54). Pada
masa kini, system turun temurun tersebut sudah ditinggalkan dan panglima laot
dipilih oleh anggota nelayan melalui musyawarah mufakat. Nelayan terdiri dari
pawang pukat, jaring, jala, pancing dan alat penangkapan ikan lainnya
selambat-lambatnya 5 tahun sekali. Syarat panglima laot antara lain: laki-laki;
sudah kawin; berumur 55 tahun ke bawah; tamat Sekolah Dasar atau bisa baca
tulis; berpengalaman di laut serta mengerti tentang hokum adat laut. Panglima
laot terpilih akan diangkat atau diberhentikan oleh Kepala Dinas Perikanan.
Sementara susunan lengkap kepengurusan Adat Laot dikukuhkan dalam surat
keputusan Gubernur untuk adat laot provinsi dan oleh Wali Kota atau Bupati bagi
kepengurusan Kota atau Kabupaten (Syamsuddin, 2014:54). Walaupun demikian,
berdasarkan wawancara dengan beberap tokoh masyarakat terungkap bahwa syarat
yang paling utama untuk seorang panglima laot adalah adanya kepercayaan
masyarakat terhadap seseorang. Walaupun seseorang tidak pandai baca tulis (buta
huruf), namun masyarakat nelayan memandangnya sebagai seorang yang dapat
dipercaya, maka sosok tersebut dapat diangkat sebagai panglima laot.
Jenjang atau
hirarki organisasi panglima laot terdiri dari Panglima Laot Lhok; Panglima Laot
Kabupaten/Kota dan Panglima Laot Aceh. Panglima Laot Lhok dipilih oleh para
pawang boat atau nelayan-nelayan di kawasan lhok masing-masing melalui
musyawarah. Panglima Laot Kabupaten/Kota dipilih oleh musyawarah panglima laot
lhok dalam wilayah kabupaten/kota tersebut. Sementara panglima laot Aceh
dipilih dalam musyawarah panglima laot kabupaten/kota yang ada di provinsi Aceh
(Emtas, 2015). Walaupun lembaga ini berada di luar struktur pemerintahan, namun
sebagimana diatur dalam pasal 9 ayat 1 Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 1990,
lembaga ini dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Gubernur,
Bupati/Wali kota, atau kepada Camat. Gubernur, Bupati/Walikota atau Camat
merupakan Pembina lembaga Panglima Laot (Syamsuddin, 2014:57).
Daerah kekuasaan Panglima Laôt tidaklah sama dengan wilayah
administrasi pemerintahan, seperti desa atau kecamatan. Jangkauan wewenangnya berbasis pada satuan
lokasi tempat yang biasa para nelayan menambatkan perahunya, menjual ikan atau
berdomisili yang disebut Lhôk. Lhôk dalam bahasa Aceh biasanya mengacu
pada pantai atau teluk, atau bias pula mencakup wilayah seluas sebuah desa,
beberapa desa, kecamatan, atau
bahkan satu gugus kepulauan
(Syamsuddin, 2014:19). Panglima laot yang berhubungan langsung dengan para
nelayan adalah panglima laot lhok. Di beberapa sub-suku Aceh, misalnya di suku
aneuk jamee, panglima laot adakalanya disebut dengan panggilan “ayah laot” atau
“abu”. Dengan panggilan ini, para nelayan ingin memberikan appresiasi yang
tinggi terhadap pemimpin mereka dan pada saat yang sama panglima laot adalah
figur yang harus memiliki keunggulan dalam iman dan ketakqwaan kepada Allah;
unggul dalam kearifan dan kebijaksanaan; unggul dalam kemurahan hati (tidak
mementingkan diri sendiri dan serakah); serta unggul dalam ilmu kelautan dan
perikanan (Emtas, 2015).
Berdasarkan Qanun Nomor 10 tahun 2008, panglima laot lhok
mempunyai tugas:
a.
Melaksanakan, memelihara dan
mengawasi pelaksanaan adat istiadat dan hokum adat laot;
b.
Membantu pemerintah dalam bidang
perikanan dan kelautan;
c.
Menyelesaikan sengketa dan
perselisihan yang terjadi di antara nelayan sesuai dengan ketentuan hokum adat
laot;
d.
Menjaga dan melestarikan fungsi
lingkungan kawasan pesisir dan laut;
e.
Memperjuangkan peningkatan taraf
hidup masyarakat nelayan;
f.
Mencegah terjadinya penangkapan ikan
secara illegal.
Tugas
dan fungsi panglima laot kabupaten/kota adalah: (a). melaksanakan tugas-tugas
sebagaimana dimaksud seperti tugas panglima laot lhok yang bersifat lintas
lhok; (b). Menyelesaikan sengketa antar panglima laot lhok. Sementara tugas dan
fungsi panglima laot Aceh adalah: (a). Melaksanakan tugas sebagaimana
tugas-tugas panglima laot lhok yang bersifat lintas kabupaten/kota; (b).
Memberikan advokasi kebijakan kelautan dan perikanan serta memberikan bantuan
hokum kepada nelayan yang terdampar di Negara lain; (c). Mengkoordinasikan
pelaksanaan hokum adat laut.
Demikian pula halnya tentang fungsi panglima laot adalah:
a.
Menentukan tata tertib penangkapan
ikan (meupayang) termasuk menentukan system bagi hasil dan hari-hari pantang
melaut.
b.
Menyelesaikan sengketa adat yang
terjadi antar wilayah hokum panglima laot lhok.
c.
Mengkoordinasikan pelaksanaan hokum
adat laot, peningkatan sumber daya dan advokasi kebijakan bidang kelautan dan
perikanan untuk peningkatan kesejahteraan nelayan.
Untuk lebih mudah memahami jenjang hirarki institusi
panglima laot dalam konteks proses pemecahan masalah, dapat dikatakan bahwa
Panglima Laôt di tingkat lhôk bertanggung jawab menyelesaikan perselisihan dan
persengkataan nelayan di tingkat lhôk. Selanjutnya, apabila perselisihan antar
nelayan tidak dapat diselesaikan di tingkat lhôk, perselisihan itu selanjutnya
diajukan ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu Panglima Laôt Kabupaten. Bila
perselisihan mencakup antar kabupaten, provinsi atau bahkan internasional, akan
diselesaikan di tingkat provinsi oleh Panglima
Laôt Provinsi. Dengan hirarki seperti itu,
terlihat bahwa salah satu fungsi dominan dari institusi panglima laot adalah
sebagai lembaga yang mendamaikan pertikaian antar nelayan.
Hingga saat ini, kewibawaan seorang panglima laot masih
tetap terjaga di mata para nelayan. Walau ada riak-riak kecil akibat intervensi
kepentingan kelompok luar – misalnya kepentingan politik, khususnya menjelang
pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah – eksistensi dan peran lembaga
panglima laot masih amat penting dan dihormati oleh anggotanya. Lembaga ini
menjadi jembatan komunikasi antar warga nelayan dan juga antara masyarakat
nelayan dengan pihak luar seperti pemerintah atau lainnya.
Musim
Ke Laut
Kebudayaan manusia
yang demikian luas cakupannya dapat dibagi ke dalam tujuh unsur yang dalam
kajian antropologi disebut sebagai unsur-unsur kebudayaan universal yang
pengertiannya adalah unsur-unsur kebudayaan yang pasti ada dalam setiap
kebudayaan suatu suku bangsa. Ketujuh unsur kebudayaan universal tersebut
adalah: (a) Bahasa; (b) Sistem mata pencaharian; (c) system peralatan hidup; (d)
System Pengetahuan; (e) Sistem Kehidupan Sosial; (f) Kesenian; (g) Sistem
Kepercayaan atau Agama. Suku Bangsa Aceh sejak lama telah memiliki pengetahuan
tentang waktu yang tepat untuk melakukan aktivitas, baik aktivitas di darat
seperti turun ke sawah ataupun aktivitas meulaut. Sistem pengetahuan masyarakat
Aceh tentang waktu yang tepat untuk melakukan aktivitas disebut dengan istilah keunenong. Istilah ini mengacu kepada
suatu system perhitungan bulan dan selanjutnya hasil perhitungan tersebut
disimpulkan dalam istilah “musim”. Misalnya, musim turun ke sawah, musim barat,
musim timur, atau musim turun hujan.
Bagi masyarakat
nelayan, mengetahui kondisi alam merupakan suatu keharusan sebelum mereka
melakukan pekerjaan. Salah memahami musim akan berdampak pada kesia-siaan yang
mana nelayan tidak akan mendapatkan hasil tangkapan yang memuaskan. Bahkan,
jika salah memahami musim, juga akan berakibat pada keselamatan nelayan di
tengah lautan.
Secara umum, masyarakat nelayan Aceh membagi
situasi alam yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi masyarakat adalah
dengan istilah “musim barat” dan “musim timur” (Muhajir, 2014:, syamsuddin,
2014:67-68). Pengetahuan tentang musim barat dan musim timur dibangun atas
pemahaman periodesasi munculnya dan arah angin bertiup dalam satu tahun. Jika angin bertiup dari dari arah laut
(Samudera Hindia) menuju ke wilayah daratan, maka periode ini disebut dengan
istilah musim barat. Sebaliknya adalah musim timur yaitu suatu periode yang
mana angin bertiup dari arah daratan menuju ke lautan.
Musim barat dan
musim timur masing-masing berlangsung selama empat bulan sehingga jumlah kedua
musim tersebut dalam satu tahun kalender adalah delapan bulan. Empat bulan
selebihnya merupakan fase peralihan kedua musim tersebut, dua bulan peralihan
dari musim barat ke musim timur dan dua bulan peralihan dari musim timur ke
musim barat. Fase peralihan musim ini disebut dengan istilah “ulee meunang”, yaitu ulee meunang timu atau ulee
meunang barat. Pada periode ini, laut teduh tidak bergelombang, angin
bertiup dengan tidak kencang dan arah bertiupnya bergantian dari darat ke laut
atau sebaliknya dalam satu hari. Nelayan memanfaatkan kondisi ini dengan
melihat waktu angin bertiup ke laut sebagai waktu untuk berangkat, dan memahami
waktu angin bertiup dari laut ke darat untuk memanfaatkannya sebagai waktu
nelayan kembali ke daratan. Periode ulee
meunang ini merupakan waktu yang baik untuk nelayan turun ke laut untuk
menangkap ikan.
Melihat kepada dua
musim di atas, musim timur adalah suatu musim yang lebih bersahabat dengan
nelayan dalam aktivitasnya mencari nafkah di laut. Angin berhembus dari arah
timur (darat) ke laut dan kondisi ombak pada musim ini tidaklah besar.
Sebaliknya, musim barat adalah musim yang tidak bersahabat dengan nelayan, ombak
bergulung tinggi dan angin berhembus kencang serta sering kali disertai badai.
Di sebagian kalangan nelayan yang berdomisili di kawasan Aceh Besar, musim
barat sering diidentikkan dengan istilah “teror musim barat” (Muhajir,
2014:161). Pada musim barat, nelayan tidak bisa pergi ke laut setiap hari dan
bahkan dalam kondisi tertentu, nelayan tidak melaut dapat berlangsung hingga
dua minggu. Karenanya, untuk menutupi kebutuhan ekonomi, sebagian nelayan
beralih profesi pada musim barat, khususnya jika aktivitas menangkap ikan di
laut tidak dapat dilakukan dalam periode waktu yang lumayan lama. Adakalanya
nelayan menjadi buruh tani atau “kenek bangunan” (pekerja pembantu) pada suatu
pekerjaan bangunan.
3. Menangkap
Ikan dan Perlengkapannya
Dalam bahasa Aceh,
aktivitas menangkap ikan di laut disebut dengan istilah meupayang. Aktivitas ini dapat dilakukan sendiri-sendiri atau
bersama dengan anggota lainnya dan tergantung pada bentuk alat yang digunakan
untuk menangkap ikan. Suku bangsa Aceh memiliki alat menangkap ikan dalam aneka
ragam bentuk, dari yang tradisional hingga peralatan moderen yang menggunakan
mesin. Berdasarkan rangkuman dari berbagai sumber, berikut ini beberapa alat
penangkap ikan di laut yang ada dalam kebudayaan suku bangsa Aceh.
a.
Kawe (pancing atau kail)
Menangkap
ikan dengan menggunakan mata pancing dapat dikatakan sebagai salah satu cara
tradisional yang telah lama dikenal oleh manusia, termasuk suku bangsa Aceh.
Bentuk mata pancing dan cara menggunakannya yang ada di Aceh adalah sama dengan
bentuk dan cara digunakan oleh penduduk di luar Aceh, yang berbeda hanya
sebutan namanya saja. Tidak semua jenis ikan dapat ditangkap menggunakan mata
kawe, hanya ikan yg memiliki mulut agat besar saja dapat ditangkap dengan alat
ini. Perbedaan jenis ikan, termasuk perbedaan ukuran, maka akan berbeda pula
mata pancing yang digunakan.
b.
Nyareng (jaring)
Nyareng
adalah sebuah alat penangkap ikan yang terbuat dari benang nilon - orang Aceh
menyebutnya “beuneng samsi” - yang
dirajut dengan lebar biasanya 2,5 meter dan panjangnya tidak tertentu, bisa
mencapai 50 meter atau lebih. Rajutan benang pada nyareng ada yang lebar
(jarang) dan ada yang kecil (rapat) tergantung ukuran ikan yang ingin
dimaksudkan oleh pengguna. Jika ikannya adalah ikan agar kecil atau ukuran sedang,
maka benang yang dirajut agaka rapat, begitu pula sebaliknya. Pada bagian atas
nyareng dilekatkan pelampung, dan pada sisi bawah diikatkan benda pemberat
sehingga bagian isi tersebut dapat tenggelam.
Idealnya
Untuk menangkap ikan dengan alat ini, diperlukan dua orang pekerja sehingga
lebih mudah penggunaannya.
c.
Jeue (Jala)
Jala
sebenarnya lebih banyak digunakan untuk menangkap ikan di sungai atau di
tambak. Namun ia bisa juga digunakan untuk menangkap ikan di laut khususnya di
daerah yang dangkal, tepian pantai, atau laut yang bertebing. Alat ini adalah
berupa benang nilon yang dirajut berbentuk
d.
Perahu,
Boat dan Pukat
Perahu
adalah kenderaan laut yang paling sederhana dengan multi fungsi yang antara
lain digunakan oleh manusia untuk menangkap ikan dengan menggunakan pancing,
jaring, atau pukat. Perahu yang berukuran kecil disebut dalam bahasa Aceh
dengan sebutan peraho atau jalo. Ada juga perahu yang berukuran
lebih besar digunakan untuk menangkap ikan dengan pukat yang kira-kira mampu
mengangkut manusia minimal sebanyak 9 orang ditambah dengan perlengkapan pukat.
Sementara boat ukurannya lebih besar dari perahu dan digerakkan dengan
menggunakan mesin.
Dari
bentuk dan cara penggunaannya, pukat dapat dibedakan kepada beberapa jenis.
Pertama adalah pukat anggok. Pukat
jenis ini biasanya hanya digunakan untuk menangkap ikan di daerah mulut kuala
atau di sungai, bukan di laut lepas. Alat pukat dibawa dengan perahu kemudian
dibentangkan hingga masuk ke dalam air. Agar bentangan pukat menjadi rapi
dilakukan dengan cara berenang dan terlihat bahwa kepala si nelayan
mengangguk-angguk di dalam air agar ia tidak tenggelam sambil memegang pukat.
Karenanya, pukat jenis ini dinamakan pukat
anggok (angguk dalam bahasa Indonesia).
Selanjutnya
adalah Pukat Darat. Pukat jenis ini
digunakan digunakan di laut yang mempunyai pantai. Bentuk pukat darat hampir
sama dengan pukat anggok, kecuali pada ukurannya, yaitu pukat darat lebih
panjang dari pukat anggok. Pukat darat adakalanya disebut juga dengan nama
pukat Aceh. Penamaan ini adalah untuk membedakannya dengan jenis pukat dari
luar Aceh.Terakhir adalah Pukat Langgar atau Pukat Coet. Pukat jenis ini
merupakan jenis baru dalam system penangkapan ikan di Aceh. Alat penangkap ikan
ini digunakan nelayan di tengah lautan luas dengan menggunakan boat dan
memerlukan tenaga manusia sebanyak lebih kurang 18 orang yang sebut dengan
panggilan awak pukat. Semua awak boat
dikoordinir oleh seorang ahli yang disebut pawang
pukat atau pawang boat yang
merupakan ketua dalam boat tersebut.
4. Sistem
Bagi Hasil
Nelayan Aceh
memiliki kearifan local tersendiri dalam kaitannya dengan tatacara pembagian
hasil tangkapan, khususnya jika penangkapan ikan dilakukan dengan menggunakan
peralatan berupa pukat. Hasil yang diperoleh dari usaha menangkap ikan dengan
menggunakan pukat disebut “harekat pukat”
(Isa Sulaiman, 2001:224, Syamsuddin, 2014:143). Perjanjian bagi hasil antar
sesam orang yang terlibat dalam proses menangkap ikan dengan menggunakan pukat
tidak dilakukan secara tertulis, namun diucapkan secara lisan. Walau ada
beberapa perbedaan antara satu wilayah adat dengan wilayah adat lainnya di
Aceh, namun secara umum tata cara pembagiannya hampirlah sama.
Pembagian hasil
menangkap ikan dengan menggunakan pukat boat adalah dengan cara dikeluarkan
terlebih dahulu keseluruhan biaya operasional selama pergi ke laut. Setelah
dikeluarkan biaya operasional, selanjutnya sisanya dibagi dua bagian (50:50).
Bagian pertama dibagi sama antar pawang boat dengan awak pukat, sementara satu
bagian lagi sebanyak 80% adalah hak pemilik boat, dan 20% sisanya adalah
diserahkan kepada awak pukat dan pawang boat. Setiap awak pukat dan pawang juga mendapatkan sedikit ikan untuk dibawa
pulang ke rumah yang disebut dengan istilah “ungkeot
bu” dan jika ikan yang diperoleh tidak banyak, maka ikan uengkot bu tersebut dijual dan uang
penjualan itu dibagi sesam awak boat.
Pembagian hareukat pukat untuk pukat darat hampir
sama dengan pembagian hasil pada tata cara menangkap ikan dengan pukat boat.
Namun istilah yang digunakan untuk biaya operasional yang harus dipotong
terlebih dahulu sebelum bagi hasil dilaksanakan disebut dengan istilah “peng gadoh” (uang hilang). Semua biaya operasional yang diperlukan untuk
melakukan penangkapan ikan menjadi tanggungan pemilik pukat darat. Besaran uang
hilang ini berdasarkan kesepakatan antara pemilik pukat darat dengan pawang
boat. Selanjutnya, uang yang tersisa dibagi dua dan pembagiannya sama dengan
pembagian hasil pada boat pukat atau pukat laut di atas (Isa Sulaiman,
2001:225, Syamsuddin, 2014:147). Dalam kasus penangkapan ikan dengan
menggunakan pukat darat, jika ada penduduk yang datang dan ikut membantu
menarik tali pukat, kepadanya akan diberikan sedikit ikan yang ukurannya cukup
untuk dimakan oleh beberapa orang dalam satu keluarga dan sekali makan. Orang
yang sekedar membantu menarik pukat tersebut disebut dengan istilah ureung teumulong (orang yang sekedar
menolong). Pada poin ini terlihat bahwa masyarakat nelayan Aceh memberikan
appresiasi kepada siapapun yang terlibat membantu mereka.
Selain bagi hasil
yang bersifat ke dalam sesama awak boat, kearifan local Aceh juga mengenal
system bagi hasil antara dua boat yang menangkap sekawanan ikan yang sama. Hal
ini terjadi bila sebuah boat melihat ada kawanan ikan, maka pawang boat
tersebut akan memberikan tanda bahwa kawanan ikan itu adalah miliknya dengan
cara mengangkat topi tinggi-tinggi atau memukulkan sesuatu (dayung atau galah)
ke air laut. Pawang boat lain yang menyaksikan tanda itu tidak boleh lagi
menangkap kawanan ikan yang sudah ditandai tersebut. Jika boat kedua tetap
menangkapnya atau karena kawanan ikan itu berenang mendekat ke boat yang kedua
sehingga boat kedua menangkap kawanan ikan tersebut, maka boat yang pertama
menandai harus mendapatkan bagian hasil. Pembagiannya adalah dengan cara
membagi yang sama antara boat pertama dan boat kedua boat.
Ada variasi
(perbedaan) cara pembagian hasil laut antara satu wilayah dengan wilayah adat
lainnya. Misalnya di kabupaten Aceh Besar yang mempunyai 14 lhok, antara satu
lhok dengan lhok lainnya ada sedikit perbedaan. Walaupun demikian, sebagaimana
diakui oleh beberapa panglima laut, perbedaan persen bagi hasil antara nelayan
dengan pemilik boat atau juga dengan pawang laot tidaklah sampai pada taraf
merugikan satu pihak tertentu.
5. Sanksi
dan Peradilan Adat
Masyarakat nelayan
Aceh mempunyai kearifan local tersendiri dalam kaitannya dengan pemberian
sanksi terhadap berbagai pelanggaran adat dan petikaian yang terjadi antar
nelayan dalam aktivitas mencari ikan di laut. “Yang dimaksud dengan perbuatan
pelanggaran hokum adat laot adalah semua perbuatan yang bertentangan dengan
hokum adat laot yang telah ada atau telah ditetapkan terlebih dahulu”
(Syamsuddin, 2014:156). Contoh dari
pelanggaran adat laot, misalnya, ada nelayan yang melanggar uroe pantang meulaot seperti yang sudah
ditentukan, yaitu hari jum’at atau hari raya idul fithri dan idul adha, tanggal
17 Agustus dan tanggal 26 Desember.Selain pelanggaran adat, adakalanya
perselisihan yang terjadi dalam kehidupan nelayan biasanya berkaitan dengan
tata cara menangkap ikan (alat yang digunakan) dan siapa yang lebih berhak
menangkap ikan di tempat tertentu. Dua hal inilah yang sering menjadi sumber
pertikaian antar nelayan di sebuah lhok.Bila terjadi pelanggaran ketentuan adat
atau adanya perselisihan yang terjadi antar nelayan dan antar boat, maka
perselisihan tersebut dibawa ke persidangan adat untuk dicarikan jalan keluar
secara damai dan bijaksana. Biasanya persidangan di laksanakan pada hari Jum’at
dan dipimpin oleh panglima laot dengan dibantu
Hal harus dipahami
bahwa eksistensi adat meulaot beserta
peradilannya yang dipimpin oleh panglima laot adalah tidak bertentangan dengan
hokum positif Republik Indonesia. Usaha rintisan untuk membentuk hokum adat laot
tersendiri khas Aceh telah dimulai sejak tahun 1970, yaitu sejak dibentuknya
Lembaga Adat Laot di kabupaten Aceh Besar. Pada tahun 1978, dibentuk pula
lembaga panglima laot se-provinsi Aceh. Lembaga Panglima Laot Provinsi Aceh
mengadakan Duek Pakat (musyawarah)
pada tahun 2000 dan menyepakati adanya satu hokum adat laot yang seragam
berlaku di provinsi Aceh. Semua perselisihan dan pelanggaran adat akan
diselesaikan melalui Lembaga Persidangan Hukum Adat Laot (LPHAL) (Isa Sulaiman,
2001:257, Syamsuddin, 2014:158).
Lembaga ini
dipimpin oleh panglima laot Kabupaten dan dibantu oleh dua orang panglima laot
lhok dan satu orang dari unsur Dinas Perikanan Kabupaten sebagai anggota
majelis. Dalam proses persidangan, majelis mendengar para pihak yang berselisih
dan juga meminta pendapat kepada tokoh-tokoh masyarakat seperti mantan pawang
boat, unsur pemerintah gampong. Setelah mendengar penjelasan dan pendapat
berbagai unsur, panglima laot mengambil keputusan dengan cara mendengar suara
terbanyak dari pendapat yang mengemuka.
Perselisihan yang
tidak melibatkan pertikaian fisik dapat diselesaikan langsung oleh panglima
laot tanpa membawa ke lembaga peradilan hukum adat laot dan biasanya, dengan
kewibaan panglima laot, persoalan tersebut dapat diselesaikan. Sebaliknya, jika
melibatkan bentrokan fisik, maka akan dibawa ke lembaga persidangan. Kepada
pihak yang bersalah, akan diberi hukuman dan diwajibkan menyiapkan nasi ketan
kuning sebagai bahan peusijuk. Bahkan pada kasus-kasus yang lebih besar, orang
yang bersalah harus menyembelih kambing atau kerbau.
PANTANGAN DAN
UPACARA RITUAL
Hampir
semua suku bangsa di dunia, khususnya suku bangsa yang masih hidup dalam taraf
kebudayaan tradisional, mengenal satu terminology yang berkaitan dengan hal-hal
yang harus dihindari dalam melakukan suatu aktivitas. Dalam bahasa Indonesia,
larangan yang harus dihindari ini terangkum dalam kata “pantang”, “tabu”, atau
juga kadang-kadang di daerah tertentu di Indonesia disebut dengan istilah
“pamali”. Sesuatu yang dianggap pantang atau tabu oleh masyarakat, maka ia akan
dipatuhi oleh segenap individu dalam masyarakat. Konsep tentang Pantang,
senantiasa dikaitkan dengan alam supranatural, bersifat sakral dan mistis,
sehingga jika ada yang melanggar pantang, yaitu melakukan yang seharusnya tidak
boleh dilakukan, maka akan terjadi bencana kepada pelakunya atau kepada
masyarakat tempat si pelaku melakukannya.
Sebagai
suatu masyarakat yang kebudayaannya amat kental dengan nilai-nilai agama Islam,
nelayan Aceh dalam melakukan aktivitasnya selalu mengaitkan dengan dunia
kosmologis keagamaan. Orang Aceh adalah orang yang menganut agama Islam, dengan
demikian pandangan kosmologis masyarakat Aceh, minimal symbol-simbol yang ada
di dalamnya, amat dipengaruhi oleh agama Islam.
Demikian
pula halnya dengan nelayan Aceh, dalam menjalankan aktivitas melautnya, mereka
juga mengenal “sesuatu” yang harus dihindari dalam kaitannya dengan pekerjaan
melaut. Di antara pantang yang menonjol di kalangan nelayan Aceh adalah
berkaitan dengan hari-hari yang tidak dibenarkan untuk melakukan aktivitas melaut
dengan tujuan untuk menangkap ikan. Hari-hari nelayan tidak dibolehkan turun ke
laut disebut dengan istilah “Uroe pantang
laot”.
Musyawarah
panglima laot se-Aceh pada tanggal 6-7 Juni 2000 telah memutuskan bahwa nelayan
Aceh mengenal empat waktu yang dianggap sebagai uroe pantang laot. Keempat waktu tersebut adalah: hari Jum’at; hari
raya idul fithri; hari raya idul adha; dan setiap tanggal 17 Agustus.
Pascaperistiwa tsunami, uroe pantang laot ini ditambah satu waktu lagi yaitu
pada tanggal 26 Desember setiap tahun (Teuku Muttaqin, 2014:27). Dengan
penambahan tersebut, uroe pantang laot menjadi lima waktu.
Dalam
kehidupan masyarakat Aceh secara umum, hari jum’at, secara umum, dipandang
sebagai hari untuk beribadah. Karenanya, hampir semua aktivitas ekonomi tidak
dilaksanakan oleh orang Aceh pada hari tersebut. Petani tidak melakukan
kegiatan bercocok tanam, tukang bangunan tidak bekerja membangun bangunan, dan
nelayan tidak pergi melaut. Jenis pekerjaan ekonomi yang tetap dikerjakana
adalah yang berhubungan langsung dengan pelayanan public, seprti perdagangan
dan pegawai perkantoran.Khusus para nelayan, biasanya mereka telah menambatkan
perahunya sejak hari kamis sore atau malam Jum’at. Sambil menunggu tibanya
waktu shalat Jum’at, adakalanya nelayan memeriksa alat penangkap ikannya,
seperti perahu atau jaring dan memperbaikinya jika ditemukan kerusakan. Setelah
pelaksanaan shalat Jum’at, barulah nelayan dibenarkan memulai aktivitasnya
kembali pergi mencari ikan di laut. Hari Jum’at juga dijadikan oleh para nelayan
sebagai hari pembagian hasil usaha mereka dalam sepekan. Semua anak pukat
(orang yang bekerja di sebuah boat) akan mendapatkan bagi hasil (uang) dari
hasil pekerjaannya selama sepekan.
Hari
raya idul fithri adalah satu dan beberapa calendrical
ritual umat Islam di dunia, sehingga semua umat Islam di dunia merayakan
hari tersebut dengan berbagai macam tradisi. Dalam budaya suku bangsa Aceh,
hari raya idul fithri dipahami sebagai sebuah momen penting dalam siklus
kehidupan individual dan social yang terpantul dalam aneka ekspresi budaya yang
ceria dan bahagia. Kebahagian secara individual bermakna bahwa hari raya idul
fithri merupakan selebrasi atas selesainya setiap individu Muslim melaksanakan
ibadah puasa Ramadhan, manusia kembali kepada fithrah (kesucian), dan kondisi
fithrah ini diekspresikan dalam kepemilikan materi yang serba baru, seperti
pakaian, dekorasi dan perabot rumah, atau minimal dibersihkan agar terlihat
baru. Sementara dalam konteks social, kebahagian idul fithri diekspresikan
dalam aktivitas saling berkunjung antar warga untuk bersalaman sebagai symbol
saling memaafkan. Idul Fithri adalah sebuah momen yang mana seluruh anggota
berkumpul bersama - yang di rantau pulang ke kampung halaman untuk bertemu
sanak saudara – sehingga ikatan kekeluargaan selalu terjalin dengan baik.
Karenanya, dapat dipahami bahwa nelayan Aceh memandang bahwa pantang bagi
mereka untuk pergi ke laut pada hari pertama dan dua setelahnya. Dengan
demikian hari pantang meulaot pada idul fithri berlangsung selama tiga hari
(Muttaqin, 2014:29).
Sama
halnya dengan idul fithri, hari raya idul adha juga termasuk hari pantang turun
ke laut bagi nelayan Aceh. Jika pada idul fithri pantang tersebut berlangsung
selama dua hari, di idul adha berlangsung selama empat hari, sesuai dengan
batasan yang disyariatkan agama Islam sebagai hari nahar dan hari tasyri’.
Di Aceh, selebrasi hari idul adha tidak berbeda dengan perayaan hari raya idul
fithri, yang mana anggota masyarakat saling berkunjung dari satu rumah ke rumah
yang lain untuk bersalaman dan memohon maaf, mencicipi makanan yang disediakan.
Karenanya, idul adha juga menjadi sebuah momen penting dalam siklus kehidupan
individual dan sosial suku bangsa Aceh, sehingga mengharuskan setiap individu
untuk tidak melakukan aktivitas mencari rizki di momen tersebut.
Demikian
pula halnya dengan tanggal 17 Agustus yang merupakan hari libur nasional dalam
kalender Indonesia dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Republik
Indonesia, maka penetapan tanggal tersebut sebagai hari pantang melaut oleh
masyarakat nelayan Aceh adalah sangat tepat. Bahkan (walau tidak setiap tahun),
nelayan dilibatkan untuk merayakan hari kemerdekaan Indonesia dengan cara
melakukan pawai di sungai krueng Aceh. Banyak boat kapal dan perahu penangkap
ikan dihiasi dengan aneka corak hiasan berlayar menyusuri krueng Aceh pada hari
pawai tersebut. Karenanya, para nelayan Aceh juga merayakan hari kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 17 Agustus setiap tahunnya dengan tidak pergi ke laut
untuk menangkap ikan.
Peristiwa
gempa bumi dan tsunami yang melanda sebagian provinsi Aceh pada tanggal 26
Desember 1004 telah memberikan duka yang mendalam bagi masyarakat Aceh. Sejak
peristiwa itu terjadi, setiap tanggal 26 Desember, masyarakat Aceh melakukan
upacara peringatan musibah tsunami dengan cara berzikir bersama di masjid atau
di meunasah atau dengan mengunjungi komplek kuburan massal korban tsunami.
Karena itu, adalah tepat dan pantas jika masyarakat nelayan menetapkan tanggal
26 Desember setiap tahunnya sebagai hari pantang beraktivitas di laut untuk
menangkap ikan.
Selain
menetapkan hari-hari pantang ke laut, masyarakat nelayan Aceh juga mengenal
pantangan dalam bentuk kata-kata atau ucapan tertentu yang harus dihindari
untuk diucapkan. Syamsuddin (2014:26-27), menjelaskan beberapa ucapan dan kata
pantang diucapkan oleh nelayan di laut yang antara lain adalah menyebut kata
“gunung” atau “tanoh mayang (tanah
tinggi)” sebab ombak setinggi gunung bisa menghempas nelayan. Kata lainnya yang
juga pantang diucapak adalah kata “lheuh
(lepas)” yang dapat mengakibatkan ikan yang telah tertangkap dapat lepas
kembali. Walaupun hal ini berbalut dengan tahyul, namun setidaknya menunjukkan
bahwa ada baiknya kata tertentu diganti dengan kata pelembut (euphemisme).
Budaya masyarakat nelayan yang sering kali diidentifikasi dengan “budaya
keras”, dengan menggunakan bahasa yang euphemism, menunjukkan bahwa masyarakat
nelayanpun pada dasarnya dapat berbudi halus.
Aspek lain yang
terkait dengan dimensi supranatural, masyarakat nelayan Aceh juga melaksanakan
ritual tertentu yang salah satunya adalah kenduri
laot. Ritual ini dilakukan dengan tujuan sebagai ekspresi rasa syukur atas
rezeki yang telah diperoleh oleh nelayan dan sekaligus memohon keselamatan
kepada Allah SWT agar nelayan selamat dalam melaksanakan aktivitasnya di laut.
Namun yang harus dipahami bahwa kenduri laot bukanlah kenduri tulak bala atau kenduri rabu abeh yang dilaksanakan oleh
sebagian masyarakat Aceh pada hari rabu terakhir di bulan Shafar tahun
Hijriyah.Dulunya, kenduri laot dilaksanakan oleh nelayan berdasarkan sebuah
batasan sebuah lhok. Para nelayan dalam lingkup tersebut melakukan ripee (urunan uang) dan menyumbangkan
makanan pada hari pelaksanaan. Pada acara tersebut, semua nelayan diundang
untuk hadir, termasuk para pejabat setempat.
Kenduri laot
dilaksanakan di pinggir pantai dengan tata laksana bervariasi antara satu
daerah dengan daerah lainnya. Secara umum, pada setiap kenduri laot, selalu
dilaksanakaan dengan bacaan zikir, shalawat, bacaan ayat suci dan ditutup
dengan pembacaan doa, serta diakhiri ritual tersebut dengan makan bersama
seluruh hadirin. Di beberapa daerah tertentu, ritual kenduri laot dilakukan
dengan cara membungkus kepada kerbau beserta tulang belulangnya ke dalam kulit
kerbau yang kemudian bungkusan tersebut dibawa ke laut menggunakan boat untuk
ditenggelamkan. Ketika bungkusan tersebut telah ditenggelamkan, orang yang ada
di atas boat mengangkat bendera berwarna putih sebagai isyarat kepada hadirin
di pantai bahwa bungkusan telah ditenggelamkan dan para hadirin dapat memulai
menyantap makanan. Selama tujuh hari setelah pelaksanaan kenduri, nelayan tidak
diizinkan menangkap ikan di sekitar bungkusan yang berisi kepala, tulang
belulang kerbau yang ditenggelamkan tersebut. Hal ini karena memberi kesempatan
kepada ikan-ikan yang ada di sekitar bungkusan itu menikmati sesajian tersebut
dan mengembangbiakkan di sekitarnya (Syamsuddin, 2014:31).
Sumber Bacaan
Syamsuddin
Daud (2014), Adat Meulaot (Adat Menangkap
Ikan di Laut), Majelis Adat Aceh, Banda Aceh
Isa
Sulaiman (eds) (2001), Pedoman Adat Aceh: Peradilan dan Hukum Adat, Lembaga
Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA), Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Moehammad
Hoesin (1970), Adat Atjeh, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah
Istimewa Atjeh, Banda Aceh.
Muhajir
Al Fairusy (2014), “Teror Musim Barat dan Ancaman Produksi: Kajian terhadap
komunitas Nelayan Lamnga, Aceh Besar”, dalam Sulaiman (ed), Aceh Kebudayaan Tepi Laut dan Pembangunan,
Bandar Publishing, Banda Aceh.
Muhammad
Umar (Emtas) (2015), Adat Meulaot di
Aceh: Payung Hukum bagi Nelayan dan Masyarakat Pesisir, Makalah pada
Lokakarya Adat Meulaot tanggal 25 Maret 2015 di Tapak Tuan.
Zulhamsyah
Imran dan Masahiro Yamao (2014), “Konstruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju
Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan
Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem”, dalam Sulaiman (ed), Aceh Kebudayaan Tepi Laut dan Pembangunan,
Bandar Publishing, Banda Aceh.
sumber: disbudpar Aceh