BANDA ACEH, KOMPAS.com - Idenesia atau Ide untuk
Indonesia adalah program kerja sama Bakti Budaya Djarum Foundation
bersama Metro TV dan Pendiri Pusat Studi Indonesia Cerdas yang dipimpin
oleh musisi Yovie Widianto.
Program ini merupakan wujud konsistensi dan inovasi Bakti Budaya Djarum Foundation dalam menanamkan kecintaan terhadap budaya Indonesia.
Tujuannya menampilkan penyajian tayangan budaya yang menarik, modern namun informatif serta dapat menjangkau masyarakat lebih luas. Idenesia tayang di Metro TV setiap Kamis pukul 22.30 WIB.
Pada tayangan Idenesia untuk Indonesia Kaya kali ini, Yovie Widianto bersama Renitasari
Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation, mengajak masyarakat Indonesia mengenal lebih mendalam kekayaan dan keberagaman budaya Indonesia di Provinsi Aceh.
Di sini mereka mengeksplorasi kekayaan budaya dan keindahan alam Aceh yang unik dan menarik untuk ditelusuri.
Dalam tayangan tersebut, pemirsa televisi akan diajak melihat mulai dari budaya minum kopi masyarakat Aceh, mengenal sejarah provinsi terbarat Indonesia ini di Museum Aceh, mengenal lebih jauh warisan Tari Seudati, dan tentunya menikmati kuliner khas Aceh.
Destinasi
pertama Idenesia kali ini adalah Museum Aceh yang menyimpan berbagai
pernak-pernik peninggalan sejarah masyarakat Aceh sejak era prasejarah,
mulai dari peralatan pertanian, peralatan rumah tangga, senjata
tradisional dan pakaian tradisional.
Di museum yang didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda ini, Yovie dan Renita menemukan berbagai koleksi manuskrip kuno, dokumentasi foto sejarah dan maket dari perkembangan Masjid Agung Baiturrahman.
Museum yang berbentuk sebuah rumah tradisional Aceh (Rumoh Aceh) ini merupakan bangunan berbentuk rumah panggung yang berbahan dasar kayu dan dapat dibongkar pasang secara fleksibel.
Di antara koleksi yang cukup populer dari museum ini adalah sebuah lonceng bernama Lonceng Cakra Donya yang usianya telah mencapai 1400 tahun. Lonceng ini merupakan hadiah dari Kaisar China, dari Dinasti Ming kepada Sultan Pasai pada Abad ke-15 yang dihadiahkan saat perjalanan muhibah Laksamana Muhammad Cheng Ho.
Lonceng ini dibawa ke Aceh saat Sultan Ali Mughayat Syah dari Kesultanan Aceh menaklukkan Pasai pada tahun 1524.
Di Banda Aceh, Selasa (20/10/2015), Yovie bersama Renitasari bertemu dengan Muda Baliya, seniman Aceh, pemilik Sanggar Jamboe Hikayat, yang pernah meraih Rekor Muri atas prestasinya pembacaan hikayat terlama, yaitu 26 jam nonstop dengan jeda hanya 5 menit di tiap jam.
Muda menuturkan bagaimana peristiwa tsunami Aceh yang dialaminya sendiri dan bagaimana peristiwa ini mengubah masyarakat Serambi Mekkah.
Dalam
setiap penampilannya, Muda Baliya tidak lepas dari alat-alat peraga
seperti bansi (seruling), peudeung (pedang) dan bantal yang dibalut
dengan tikar pandan. Dengan kemampuan bertuturnya, ia mampu mengharumkan
nama Aceh sampai ke mancanegara.
Renitasari mengakui bahwa Aceh memiliki khasanah budaya dan kesenian yang unik, salah satunya adalah seni tutur atau hikayat Aceh yang harus dijaga dan dilestarikan, seperti yang dilakukan oleh Muda Baliya.
"Sangat mengharukan bagaimana ia bersama rekan-rekan seniman Aceh lainnya harus berjuang meneruskan tradisi berhikayat dari rumah ke rumah agar kesenian-kesenian tradisi yang ditinggalkan nenek moyang masih hidup di Aceh," katanya.
"Sudah seharusnya kita sebagai masyarakat Indonesia merasa bangga akan keunikan budaya Indonesia dan harus mengapresiasi para seniman yang berusaha menjaga keeksistensian budaya leluhur,” sambung Renitasari.
Tak ketinggalan, Yovie dan Renita berkesempatan mencicip kopi gayo khas Aceh dan menikmati ayam tangkap, kuliner khas Aceh berupa ayam yang digoreng dengan bumbu dan rempah-rempah dedaunan khas yang akan meresap sampai ke dalam daging.
Selain itu keduanya sempat menikmati Tari Seudati, tarian kepahlawanan masyarakat Aceh di mana pada zaman dahulu dipertunjukkan untuk menghibur prajurit Aceh yang sedang dipersiapkan untuk suatu pertempuran.
Gerak berirama yang paling menonjol dalam Seudati adalah tepukan dada yang menderap serentak sehingga mengeluarkan suara keras yang membahana, ketip jemari, jerak tangan yang seragam dan lantunan irama yang seirama dengan gegap gempita, membuat seudati menjadi tontonan yang sangat heroik, romantis dan indah.
Menurut
Yovie, Aceh memiliki tempat-tempat wisata yang indah, sarat kekayaan
budaya dan keindahan alam yang unik dan menarik untuk ditelusuri. Ada
ragam budaya yang berbeda namun selalu disesuaikan dengan nilai-nilai
Islam yang memberikan corak tersendiri terhadap budaya dan adat istiadat
Aceh.
"Pariwisata dan kuliner Aceh ini harusnya bisa kita bangun dan menjadi kekuatan ekonomi yang tidak akan pernah habis. Pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama peduli dan ramah menyambut wisatawan agar mereka ketagihan datang lagi ke Aceh,” ujar Yovie Widianto.
Idenesia awalnya merupakan gagasan Yovie bersama Metro TV, dan program ini telah berjalan selama kurang lebih dua tahun sebelum akhirnya bergabung dengan Bakti Budaya Djarum Foundation pada awal 2014.
Sejak bekerja sama dengan Bakti Budaya Djarum Foundation, Idenesia yang sebelumnya hanya melakukan taping di studio Metro TV, kini lokasi taping menjadi di Galeri Indonesia Kaya dan juga mengambil lokasi di daerah-daerah Indonesia.
Sejak 2014 hingga kini telah memproduksi lebih dari 60 episode. Misi yang diemban yakni mengangkat tokoh-tokoh inspiratif Indonesia dan juga potensi daerah agar lebih dikenal masyarakat Indonesia. (*)
Program ini merupakan wujud konsistensi dan inovasi Bakti Budaya Djarum Foundation dalam menanamkan kecintaan terhadap budaya Indonesia.
Tujuannya menampilkan penyajian tayangan budaya yang menarik, modern namun informatif serta dapat menjangkau masyarakat lebih luas. Idenesia tayang di Metro TV setiap Kamis pukul 22.30 WIB.
Pada tayangan Idenesia untuk Indonesia Kaya kali ini, Yovie Widianto bersama Renitasari
Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation, mengajak masyarakat Indonesia mengenal lebih mendalam kekayaan dan keberagaman budaya Indonesia di Provinsi Aceh.
Di sini mereka mengeksplorasi kekayaan budaya dan keindahan alam Aceh yang unik dan menarik untuk ditelusuri.
Dalam tayangan tersebut, pemirsa televisi akan diajak melihat mulai dari budaya minum kopi masyarakat Aceh, mengenal sejarah provinsi terbarat Indonesia ini di Museum Aceh, mengenal lebih jauh warisan Tari Seudati, dan tentunya menikmati kuliner khas Aceh.
Yovie Widianto bersama Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya
Djarum Foundation mengunjungi Museum Aceh, Selasa (20/10/2015).
Di museum yang didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda ini, Yovie dan Renita menemukan berbagai koleksi manuskrip kuno, dokumentasi foto sejarah dan maket dari perkembangan Masjid Agung Baiturrahman.
Museum yang berbentuk sebuah rumah tradisional Aceh (Rumoh Aceh) ini merupakan bangunan berbentuk rumah panggung yang berbahan dasar kayu dan dapat dibongkar pasang secara fleksibel.
Di antara koleksi yang cukup populer dari museum ini adalah sebuah lonceng bernama Lonceng Cakra Donya yang usianya telah mencapai 1400 tahun. Lonceng ini merupakan hadiah dari Kaisar China, dari Dinasti Ming kepada Sultan Pasai pada Abad ke-15 yang dihadiahkan saat perjalanan muhibah Laksamana Muhammad Cheng Ho.
Lonceng ini dibawa ke Aceh saat Sultan Ali Mughayat Syah dari Kesultanan Aceh menaklukkan Pasai pada tahun 1524.
Di Banda Aceh, Selasa (20/10/2015), Yovie bersama Renitasari bertemu dengan Muda Baliya, seniman Aceh, pemilik Sanggar Jamboe Hikayat, yang pernah meraih Rekor Muri atas prestasinya pembacaan hikayat terlama, yaitu 26 jam nonstop dengan jeda hanya 5 menit di tiap jam.
Muda menuturkan bagaimana peristiwa tsunami Aceh yang dialaminya sendiri dan bagaimana peristiwa ini mengubah masyarakat Serambi Mekkah.
Muda Baliya, seniman Aceh, peraih Rekor Muri atas prestasinya pembacaan
hikayat terlama, yaitu 26 jam nonstop dengan jeda hanya 5 menit di tiap
jam.
Renitasari mengakui bahwa Aceh memiliki khasanah budaya dan kesenian yang unik, salah satunya adalah seni tutur atau hikayat Aceh yang harus dijaga dan dilestarikan, seperti yang dilakukan oleh Muda Baliya.
"Sangat mengharukan bagaimana ia bersama rekan-rekan seniman Aceh lainnya harus berjuang meneruskan tradisi berhikayat dari rumah ke rumah agar kesenian-kesenian tradisi yang ditinggalkan nenek moyang masih hidup di Aceh," katanya.
"Sudah seharusnya kita sebagai masyarakat Indonesia merasa bangga akan keunikan budaya Indonesia dan harus mengapresiasi para seniman yang berusaha menjaga keeksistensian budaya leluhur,” sambung Renitasari.
Tak ketinggalan, Yovie dan Renita berkesempatan mencicip kopi gayo khas Aceh dan menikmati ayam tangkap, kuliner khas Aceh berupa ayam yang digoreng dengan bumbu dan rempah-rempah dedaunan khas yang akan meresap sampai ke dalam daging.
Selain itu keduanya sempat menikmati Tari Seudati, tarian kepahlawanan masyarakat Aceh di mana pada zaman dahulu dipertunjukkan untuk menghibur prajurit Aceh yang sedang dipersiapkan untuk suatu pertempuran.
Gerak berirama yang paling menonjol dalam Seudati adalah tepukan dada yang menderap serentak sehingga mengeluarkan suara keras yang membahana, ketip jemari, jerak tangan yang seragam dan lantunan irama yang seirama dengan gegap gempita, membuat seudati menjadi tontonan yang sangat heroik, romantis dan indah.
Yovie Widianto mencicipi kuliner khas Aceh di Warung Nasi Hasan 3, Banda Aceh, Selasa (20/10/2015).
"Pariwisata dan kuliner Aceh ini harusnya bisa kita bangun dan menjadi kekuatan ekonomi yang tidak akan pernah habis. Pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama peduli dan ramah menyambut wisatawan agar mereka ketagihan datang lagi ke Aceh,” ujar Yovie Widianto.
Idenesia awalnya merupakan gagasan Yovie bersama Metro TV, dan program ini telah berjalan selama kurang lebih dua tahun sebelum akhirnya bergabung dengan Bakti Budaya Djarum Foundation pada awal 2014.
Sejak bekerja sama dengan Bakti Budaya Djarum Foundation, Idenesia yang sebelumnya hanya melakukan taping di studio Metro TV, kini lokasi taping menjadi di Galeri Indonesia Kaya dan juga mengambil lokasi di daerah-daerah Indonesia.
Sejak 2014 hingga kini telah memproduksi lebih dari 60 episode. Misi yang diemban yakni mengangkat tokoh-tokoh inspiratif Indonesia dan juga potensi daerah agar lebih dikenal masyarakat Indonesia. (*)