DI ranah penegakan hukum kasus korupsi, kepolisian juga kejaksaan
masih kalah pamor dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Yang banyak
muncul malah suara-suara sumbang terhadap korps kepolisian yang kerap
dituding tak maksimal memberantas korupsi. Bahkan institusi itu kerap
ditempatkan di daftar atas lembaga terkorup, menurut jajak pendapat
berbagai lembaga swadaya masyarakat antikorupsi. Namun, itu cerita agak
usang. Setidaknya mulai tahun ini, Kepolisian Republik Indonesia sudah
memulai transformasinya.
Kini lebih terlihat gebrakan mereka
dalam penanganan kasus korupsi. Tidak cuma membidik yang kecil-kecil,
tapi juga yang skala besar. Polisi tak lagi inferior di hadapan KPK.
Dugaan korupsi pengadaan uninterruptible power supply (UPS) dalam APBD
DKI Jakarta 2014, dugaan korupsi cetak sawah di Kementerian BUMN, dugaan
korupsi kondensat, pengadaan crane Pelindo II, dan dugaan korupsi di
Pertamina Foundation ialah contoh kasus-kasus besar yang kini sedang
ditangani Polri.
Meskipun kontroversial, sosok Komjen Budi Waseso
harus diakui punya andil besar di balik proses transformasi itu. Tak
ragu kita menyebutnya kontroversial karena di awal-awal menjabat sebagai
Kabareskrim Polri, ia dianggap antitesis dari gerakan antikorupsi.
Langkah dia menetapkan status tersangka terhadap dua pemimpin KPK dan
seorang penyidik KPK membuatnya dicap tidak propemberantasan korupsi.
Namun,
jika melihat rekam jejaknya belakangan ini, tak ragu pula kita
memberikan apresiasi kepadanya karena telah ikut mengubah wajah Polri
yang tadinya 'ramah terhadap korupsi' menjadi 'galak melawan korupsi'.
Sepak terjangnya bahkan telah membuat sejumlah pejabat tinggi pemerintah
dan BUMN gerah menahan amarah. Ia pun menjadi ikon yang menarik.
Jika
di awal ia dibenci sekaligus ditakuti aktivis antikorupsi, belakangan
justru koruptor-koruptor yang keder berhadapan dengannya. Akan tetapi,
saat Polri mulai segalak KPK dalam memberangus korupsi, sang ikon itu
justru dicopot. Komjen Buwas dimutasi menjadi Kepala Badan Narkotika
Nasional, bertukar tempat dengan Komjen Anang Iskandar yang kini
menjadi Kabareskrim.
Mutasi di kepolisian memang proses biasa.
Akan tetapi, mata awam juga patut menduga pencopotan Kabareskrim kali
ini bukan hal yang biasa. Kita tidak berharap demikian, tapi publik pun
tidak berlebihan bila mengait-ngaitkan pergantian tersebut dengan
gebrakannya dalam menyelisik kasus-kasus korupsi belakangan ini. Kalau
ini benar, teori bahwa upaya pemberantasan korupsi akan selalu
memunculkan resistensi dan perlawanan memang benar adanya.
Berbagai
cara, baik langsung maupun tersamar, akan dilakukan untuk melawan
pemberantasan praktik busuk tersebut, termasuk mencopot sosok yang
memimpin pemberantasan itu. Kita tentu berharap dugaan itu tidak benar.
Karena itu, dalam perspektif yang positif kita ingin mengingatkan
kinerja Polri yang tengah naik di bidang pemberantasan korupsi jangan
sampai menjadi lumpuh.
Apa pun yang terjadi saat ini Polri tak
boleh surut menghantam praktik rasywah yang terus menghambat gerak
negeri ini. Polri mesti membuktikan bahwa mutasi dan pergantian yang
mereka lakukan mampu memunculkan langkah-langkah progresif baru yang
membuat upaya pemberantasan korupsi makin trengginas, tajam, dan
terarah, bukan sebaliknya. Jika itu bisa dilakukan, publik baru akan
percaya pergantian Kabareskrim kali ini ialah sebuah proses mutasi
biasa, bukan sebuah bentuk ketundukan pada koruptor.
sumber: http://www.mediaindonesia.com/editorial/view/521/Mutasi-Polri-Melawan-Korupsi/2015/09/05