Oleh: Ubedilah Badrun
(Pengamat Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta/UNJ)
Membangun
optimisme itu sangat penting. Ia seperti energi listrik yang
menggerakan mesin-mesin pabrik yang memproduksi barang. Dengan
bergeraknya mesin pabrik memproduksi barang maka dapat dikalkulasi
berapa jumlah barang yang diproduksi dalam sehari, sebulan, setahun dan
seterusnya.
Oleh karenanya optimisme itu sebangun dengan
produktifitas. Begitu juga membangun sebuah negara. Optimisme itu
penting karena dengan optimisme itu memberi kontribusi besar bagi
tingginya produktivitas sebuah negara.
Kita bisa belajar dari
bangsa bangsa yang hancur akibat kalah perang atau bencana alam yang
besar. Optimisme yang dilakukan Kaisar Jepang pascaperang dunia kedua
adalah contoh berharga betapa optimisme sebagai penyumbang utama bangkit
dan majunya sebuah bangsa dari keterpurukan.
Kita pernah
mengalami situasi krisis ekonomi pada 2008 yang mirip terjadi dengan
2015. Pada krisis kali ini faktor situasi ekonomi politik global menjadi
faktor utama. Elite politik yang berkuasa saat itu memiliki kemampuan
untuk membangkitkan optimisme mayoritas warga, optimisme pelaku ekonomi
dan optimisme elite politik.
Tidak hanya itu, kemudian kebijakan ekonomi dan politik yang dibuat
pemerintah direspon positif oleh mayoritas publik, oleh pasar domestik
maupun internasional. Meskipun kebijakannya penulis sebut nekat dan
beresiko secara hukum.
Kemampuan elite politik utama pada waktu
itu untuk melakukan konsolidasi elite politik mayoritas telah memberi
pengaruh positif bagi penyelamatan ekonomi sehingga kegaduhan politik
meski terjadi manifest (nyata terbuka) melalui hak interpelasi dan hak
angket tetapi tidak berlangsung lama. Ini yang nampaknya tidak dimiliki
Presiden Jokowi saat ini, ia gagal melakukan konsolidasi elite politik.
Hal ini terlihat dari gagalnya bangun koalisi mayoritas di parlemen.
Terkait
situasi ekonomi pascaterpilihnya Jokowi-JK, sebenarnya saat itu rupiah
mengalami penguatan pada hari pelantikan, 20 Oktober 2014, meski hanya
naik sekitar 200 basis poin di posisi Rp 12.041 dari sebelumnya di level
Rp 12.222 per dolar AS pada 17 Oktober. Saat itu penguatan hanya
terjadi kurang dari dua pekan.
Rupiah justru kian melemah setelah
kabinet pemerintahan terbentuk, diperdagangkan Rp 12.264 per dolar AS
pada 1 Desember 2014. Badan Pusat Statistik (5/2015) menyebutkan
ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,7 persen. Angka ini turun dari triwulan
sebelumnya yang sebesar 5,02 persen.
Sebagaimana diketahui
kemudian hingga Agustus 2015, saat Reshuffle kabinet dilakukan pun tren
penurunan nilai tukar rupiah terus terjadi hingga 14.000 lebih.
Kesimpulan umum para ekonom adalah hal itu terjadi akibat pengaruh
global yang tak bisa dibendung. Kebijakan dari People's Bank of China
(PBoC) atau bank sentral Cina yang mendevaluasi Chinese Yuan Renminbi
(CNY) rates sebesar 1,9 persen disimpulkan sebagai faktor.
Penulis
tidak menafikan kesimpulan yang mengatakan bahwa faktor ekonomi politik
global tersebut menjadi faktor melemahnya nilai rupiah. Tetapi faktor
politik dan ekonomi domestik justru turut memperparah keadaan, yang
kemudian menimbulkan sentimen negatif.
Hal ini terlihat dari
gagalnya konsolidasi elit politik, penyusunan kabinet yang
kontraversial, kesalahan kesalahan administratif istana, reshuffle
kabinet yang salah tempat, ketegangan Presiden dengan wakil presiden,
saling serang antarmenteri, kebijakan Presiden yang berbeda dengan BI
(menarik Investasi sebanyak-banyaknya meski dalam bentuk utang V.S.
intervensi BI). Ini semua menjadi faktor yang memperparah keadaan dan
pelan pelan membunuh optimisme.
Jika konsolidasi elite politik
terus gagal, rupiah terus terpuruk, harga sembako melambung tinggi, daya
beli masyarakat terus melemah, dan keadaan politik tak menentu, maka
bayang-bayang kegagalan pemerintahan Jokowi ada dihadapan mata.
Sudden shift (tiba-tiba berpindah), speed (cepat), dan surprise
(mengejutkan) tidak hanya terjadi dalam ekonomi sebagaimana ditulis
Renald Kasali (24/8/2015) tetapi itu bisa saja terjadi di politik
domestik kita. Semoga tidak terjadi, kuncinya ada pada leadership
ekonomi Jokowi.
sumber: http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/15/08/25/ntn8jm336-bayangbayang-kegagalan-pemerintahan-jokowi?ref=yfp