Cari Blog Ini

Artikel: ACEH DI PERSIMPANGAN JALAN


[cover] Maimun Yulif
Titik Balik Peradaban dan Kebangkitan Budaya Baru

Irwan Abdullah*

Perkembangan masyarakat dewasa ini tidak hanya menuju ke arah integrasi, tetapi juga disintegrasi sejalan dengan proses internasionalisasi nilai dan praktik sosial. Proses globalisasi mendapatkan berbagai tanggapan oleh masyarakat yang berbeda yang tampak dari proses integrasi, resistensi yang melahirkan suatu bentuk disintegrasi, atau terlihat juga dari adaptasi-adaptasi yang dilakukan suatu  masyarakat terhadap berbagai pengaruh arus tersebut. Sejalan dengan itu, proses “lokalisasi” (semacam usaha penaklukan kebudayaan global) dapat saja terjadi, yang menunjuk pada percampuran unsur lama dan baru dalam berbagai proses sosial. Namun demikian, hampir tidak ada satu masyarakat pun yang terbebas sepenuhnya dari pengaruh globalisasi, sejalan dengan perbaikan transformasi dan teknologi komunikasi. Pemerintah pun yang berperan dalam menyaring jenis informasi yang masuk ke suatu negara dan masyarakat, tidak pernah mampu meredam arus informasi yang membludak dari sudut jenis dan intensitas. Yang menjadi masalah di sini adalah bagaimana memilih dari sekian banyak informasi yang tersedia (Hannerz, 1992). Kemampuan memilih sangat ditentukan oleh kedewasaan dan wawasan dan bagaimana arus peradaban baru itu diantisipasi dan diartikulasikan dalam suatu konfigurasi nilai.
Informasi yang disalurkan melalui berbagai media (yang merupakan kekuatan paling nyata dari masyarakat modern) telah membentuk ideologi yang paling mendasar, yakni ideologi perbedaan akibat pilihan informasi yang begitu beragam menyebabkan begitu banyak pilihan untuk membangun perbedaan-perbedaan (Bourdieu, 1994). Perbedaan (diferensiasi) merupakan tanda yang paling penting dalam kehidupan masyarakat modern. Berbagai institusi terbentuk untuk mensahkan perbedaan-perbedaan ini. Globalisasi sesungguhnya telah melahirkan suatu jenis ideologi yang menjadi dasar dari pembentukan, pelestarian dan perubahan masyarakat yang bertumpu pada proses identifikasi diri dan pembentukan perbedaan antarorang. Kapitalisme karenanya telah menjadi kekuatan yang paling penting dewasa ini (apalagi setelah keruntuhan komunisme dan sosialisme), yang tidak hanya mampu menata dunia menjadi satu tatanan global tetapi mengubah tatanan masyarakat yang bertumpu pada perbedaan-perbedaan, yang mengarah pada pembentukan status dengan simbol-simbol modernitas yang menegaskan nilai-nilai autentik (Featherstone, 1991).
Perbedaan-perbedaan yang tampak dalam dimensi tersebut merupakan dasar dari perubahan-perubahan reorganisasi kehidupan dalam berbagai aspeknya. Pengaruh perubahan reorganisasi kehidupan itu terhadap kehidupan keagamaan dapat dilihat pada tiga proses yang menjadi tanda dari keberadaan masyarakat modern. Pertama, proses materialisasi kehidupan yang mentransformasikan berbagai hal menjadi komoditi sehingga terjadi proses komodifikasi secara meluas dalam proses interaksi sosial. Kedua, takanan sosial yang diakibatkan oleh etos kerja kapitalistik yang kemudian menyebabkan hidup menjadi proses pencarian nilai tambah secara material. Ketiga, proses mobilitas yang menjadi fenomena terpenting dengan masuknya berbagai bangsa ke dalam suatu wilayah seperti Aceh pasca tsunami yang mempengaruhi berbagai bentuk reorganisasi sosial, ekonomi dan politik. Ketiga proses tersebut merupakan proses yang mendasari perubahan dalam pendefinisian keserasian dan keseimbangan masyarakat, seperti yang dapat dilihat di Bali sejak Orde Baru. Tulisan ini berusaha menjelaskan pengaruh tiga faktor tersebut dalam kehidupan sosial budaya Aceh, sebelum dibicarakan pentingnya peranan budaya dalam mengendalikan gerak perubahan yang berlangsung dengan kecepatan dan kekuatan yang begitu dahsyat. Sebelum ketiga hal tersebut dibicarakan, khususnya dalam menjawab bagaimana masyarakat Aceh mampu melakukan revitalisasi budaya untuk menghadapi tantangan globalisasi yang tak berujung, akan disertakan gambaran tentang akibat-akibat apa yang dibawa oleh proses globalisasi tersebut.

2. Globalisasi: Era Deteritorialisasi Budaya
Masyarakat telah mengalami perubahan yang mendasar dalam berbagai aspek sejak kultur agraris mulai dipertanyakan oleh kekuatan lain di luar dirinya. Proses industrialisasi telah menjadi kekuatan penting yang selain memperkenalkan suatu pola organisasi produksi yang baru, juga memaksa penyesuaian-penyesuaian nilai dan norma dalam masyarakat. Perubahan yang kemudian terjadi secara meluas paling tidak dapat dilihat pada tiga tahap, yang kemudian mengubah seting sosial budaya masyarakat.
Pertama, pada saat masuknya pasar ke dalam masyarakat petani yang mulai mempengaruhi kultur agraris, khususnya menyangkut tekanan ide dan praktik pasar yang tidak hanya mempengaruhi proses komodifikasi dari hasilhasil pertanian (yang mengubah produksi subsistensi dan “barter”), tetapi juga telah memperluas jaringan sosial dan orientasi masyarakat ke luar desa. Ciriciri lokal mulai bergeser sejalan dengan melebarnya batas-batas interaksi dan batas pengetahuan penduduk. Sumber daya yang dapat dimobilisir pada masa ini menjadi lebih luas karena mulai melintasi batas desa. Ide dan sumber daya dari luar mulai diperkenalkan dan dimanfaatkan. Penggunaan tenaga kerja dalam pertanian juga mulai masuk dari desa tetangga yang tentu saja kemudian mengubah bentuk-bentuk kewajiban sosial antar-anggota masyarakat akibat meluasnya batas-batas solidaritas sosial. Meskipun kepemimpinan lokal masih penting, hubungan dengan dunia luar telah menyebabkan melemahnya keyakinan tentang sesuatu yang bersifat magis dan supernatural.
Kedua, terjadinya integrasi pasar, yakni pengaruh pasar menjadi lebih kuat sejalan dengan terikatnya penduduk ke dalam suatu tatanan yang lebih luas ke dalam suatu ide, nilai, dan praktik yang bersifat nasional. Selain barang-barang lokal yang mulai menyebar ke berbagai tempat akibat terintegrasinya ke dalam suatu pasar (nasional), barang-barang baru (pabrik) mulai masuk ke daerah-daerah yang secara langsung mulai mengubah pola kegiatan ekonomi penduduk. Kegiatan pertukangan, kerajinan, dan pertanian itu sendiri mulai ditujukan untuk menghasilkan komoditi yang memiliki nilai jual sehingga suatu produk mulai dihubungkan dengan “permintaan pasar” dan tentu saja dengan harga. Pada fase ini batas-batas etnis (lokal) mulai mengabur, khususnya akibat perkawinan antaretnis yang mulai mendapatkan pengesahan. Stereotip etnis mulai dipertanyakan keabsahannya atau mulai dimanfaatkan untuk berbagai tujuan yang lebih luas. Perkawinan campuran yang terjadi antara etnis satu dengan yang lain tidak hanya mengubah citra etnis masing-masing tetapi juga melahirkan anak-anak yang mengalami pengkayaan orientasi lokal dan nasional. Anak-anak yang dilahirkan oleh pasangan Aceh dengan Jawa/Sunda, misalnya, menjadi tidak begitu jelas etnisnya dalam seting kultural tertentu. Penduduk lokal dalam fase ini terkontaminasi dengan prinsip-prinsip totalitas yang menjadi ideologi nasional: dalam bidang pertanian orang mulai mengenal program pembangunan pertanian; dalam kesehatan mulai dikenal puskesmas, dokter, obat, dan segala yang berbau nasional; demikian pula pola kepemimpinan yang kemudian mengikuti aturan main yang sudah disiapkan secara nasional, bukan prinsip-prinsip lokal yang didasarkan oleh keyakinan terhadap pulung dan sebagainya.
Ketiga, tahap perubahan yang disebut sebagai ekspansi pasar, yakni suatu perubahan pusat kekuasaan ke pasar dalam penataan sistem sosial. Orientasi  tidak  hanya  bersifat  nasional,  tetapi meluas ke global dengan serangkaian nilai dan norma baru. Sumber daya yang dapat dimobilisir jauh lebih luas, seperti modal dan juga SDM. Perkawinan campuran tidak hanya terjadi antaretnis, tetapi mulai terjadi antarbangsa, antarorang yang memegang paspor yang berbeda atau berlainan kewarganegaraan. Komunikasi merupakan kata kunci di sini akibat batas-batas ruang yang bersifat relatif yang terbentuk sejalan dengan perbaikan transportasi dan teknologi komunikasi (Featherstone, 1990: 16). Pasar dalam hal ini muncul sebagai kekuatan dalam membangun “dunia” kehidupan sehari-hari dengan memindah-mindahkan batas dan ikatan tradisional mengikuti logika berpikir pasar. Perkampungan yang semula lebih berorientasi pada etnis (Kampung Jawa, Kampung Melayu, Kampung Arab, Pecinan) dan agama sebagai alat identifikasi dan pemosisian diri, berubah ke dalam suatu pola organisasi ruang dan identifikasi diri yang berbeda, menjadi Bumi Serpong Damai, Bumi Mataram Sejahtera, atau Bumi Dalung Permai, Green Darden dan berbagai nama yang penuh style dan estetika. Pengaturan ruang semacam ini lebih didasari oleh daya beli penduduk sehingga kekuatan ekonomi lebih menjadi alat atau faktor dalam identifikasi diri dan pengelompokan sosial. Jenis keluarga yang dihasilkan kemudian berbeda karena kelas sosial telah membentuk karakter hubungan sosial.
Tahap yang ketiga merupakan tahap yang kurang lebih sedang dialami di Aceh dengan prinsip-prinsip diferensiasi yang lebih kuat dibandingkan era totalitas. Secara umum ketiga proses tersebut sesungguhnya telah menegaskan suatu perubahan masyarakat yang begitu jauh bergeser dari tatanan lama. Suatu tatanan baru yang lahir tidak hanya merupakan suatu bentuk dan gaya yang baru yang dianut oleh masyarakat, tetapi juga suatu cara baru di dalam melihat diri sendiri dan orang lain di dalam konteks yang berbeda. Hal ini terkait dengan pencarian makna seperti yang dikatakan Berger dan Luckmann (1991) dan Geertz (1973) yang terikat pada kelompok atau komunitasnya. Sifat-sifat komunitas inilah yang bergeser dewasa ini sehingga ground untuk basis pemaknaan tersebut menjadi hal yang bersifat problematik. Keseluruhan proses sosial budaya yang berlangsung di dalam masyarakat, khususnya dalam pembentukan masyarakat baru, merupakan akibat dari pergeseran tatanan sosial, ekonomi dan politik global.

3. Materialisasi dan Komodifikasi Kehidupan Aceh
Pasar telah menjadi kekuatan penting terutama melalui proses integrasi dan ekspansi pasar. Integrasi pasar telah menghasilkan suatu penyatuan sistem kerja dan ketergantungan pada struktur pasar yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi. Ekspansi pasar tidak hanya memperkenalkan barang-barang baru, tetapi juga memperluas jaringan distribusi barang yang mempengaruhi tata nilai dan hubungan-hubungan sosial. Ekspansi  pasar juga kemudian mengubah kehidupan menjadi suatu proses transaksi di mana setiap orang menghitung cost dan benefit dari setiap hubungan sosial dan praktik di mana ia terlibat. Aturan-aturan pasar menjadi ”aturan main” yang harus ditaati. Kompetisi menjadi sangat dominan. Pasar kemudian berfungsi ganda: sebagai penekan dengan batasan-batasan dan pengaturan (tentang keterlibatan individu dalam struktur pekerjaan yang tersegmentasi) dan sebagai solusi yang memberikan jalan keluar dengan menyediakan berbagai fasilitas untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas pribadi dalam usaha memenuhi ”aturan main” yang ditetapkan oleh pasar. Subjektivitas mengalami pemosisian dan pendefinisian ulang oleh aturan yang ditentukan secara sepihak. Hal ini semakin parah pada tahap ekspansi pasar (market expansion).
Etos kerja kapitalistik yang terbentuk merupakan contoh yang paling nyata dari ekspansi pasar di mana orang berorientasi kepada pencarian ”kehidupan yang lebih baik” dalam berbagai bentuk dan tingkat. Segmentasi pasar, yang menentukan keterlibatan seseorang berdasarkan prasyarat yang ditentukan pasar untuk kepentingan pasar, merupakan kekuatan baru yang mempengaruhi tata kehidupan. Masyarakat desa melakukan migrasi ke berbagai tempat dalam usaha mencari kehidupan yang lebih baik, tidak hanya ke berbagai kota, tetapi juga ke berbagai negara, di mana mereka dapat menikmati sesuatu ”yang  lebih ” dari yang pernah mereka miliki. Dorongan semacam ini telah mempengaruhi reorganisasi masyarakat desa dan kehidupan sosial secara umum. Keinginan untuk pergi telah menjadi obsesi hampir setiap orang sehingga hal ini telah menjadi kekuatan di dalam transformasi sosial (Appadurai, 1991). Kelompok masyarakat yang lain melakukan berbagai usaha untuk dapat menikmati mobilitas vertikal sebagai cara untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Seluruh kelompok dalam masyarakat menggunakan berbagai sumber daya untuk mencapai suatu kehidupan yang lebih baik.
Dalam masyarakat yang berorientasi pada pasar, cara pandang terhadap dunia (seperti juga terhadap agama) mengalami pergeseran. Agama atau budaya, seperti di Aceh, dalam hal ini bukan merupakan sumber nilai dalam pembentukan gaya hidup, tetapi dapat menjadi instrumen bagi gaya hidup itu sendiri.  Pelaksanaan upacara tidak semata sebagai pengejawantahan spiritualisme (sakral), tetapi telah pula menjadi ”produk” yang dikonsumsi dalam rangka  ”identifikasi diri” yang disebut Friedman sebagai bentuk cultural strategy of self-definition (Friedman, 1991: 312). Dengan demikian agama, seperti barang-barang seni, telah diambil alih oleh pasar untuk dikelola sedemikian rupa. Bukan hanya hari-hari besar agama yang digunakan sebagai ”kesempatan” untuk distribusi barang secara besar-besaran tetapi umat agama telah dibentuk menjadi konsumen untuk distribusi pakaian, asesoris keagamaan, lembaga pendidikan, surat kabar, dan lain-lain. Keagamaan pun telah didefinisikan oleh pasar dengan menciptakan kategori-kategori dan assesoris.
Wisata Religius mulai menjadi produk alternatif dalam industri pariwisata. Kecenderungan ini menunjukkan proses komodifikasi kehidupan sehari-hari yang dikatakan Boudrillard melibatkan manipulasi tanda sehingga yang dikonsumsi bukanlah obyek, tetapi sistem obyek (Featherstone, 1992: 270). Hal ini  menyangkut keseluruhan proses dan asesoris yang melekat sebagai instrumen keberagaman, bukan substansi agama itu sendiri.

4. Estetisasi dan Privatisasi Budaya
Jaman modern ini juga ditandai dengan proses estetisasi kehidupan, yakni menguatnya kecenderungan hidup sebagai proses seni. Produk yang dikonsumsi tidak dilihat dari fungsi, tetapi dari simbol yang berkaitan dengan identitas dan status (Abdullah, 1994: 22). Pada saat kecenderungan ini terjadi esensi kehidupan menjadi tidak penting karena sebagai sebuah seni, kehidupan itu memiliki makna keindahan sehingga yang dihayati dari hidup itu adalah citra (Simmel, 1991). Makan bukan lagi proses pemuasan kebutuhan biologis, tetapi lebih merupakan kebutuhan simbolik yang dikaitkan dengan jenis makanan, tempat makan, dan suasana yang dihadirkan saat makan. Tata makan dan seni di dalam praktik makan telah membentuk suatu lingkaran nilai yang menjauhkan praktik makan dari nilai esensialnya.
Apa yang jelas terlihat adalah pergeseran hidup dari proses etis ke estetika. Selain pergeseran itu menunjukkan tanda dari pergeseran masyarakat yang cukup mendasar juga merupakan tanda dari pembentukan etos kehidupan yang berbeda di mana etos konsumtif/simbolis menjadi jauh lebih penting dari pada etos produktif/teknologis. Sejalan dengan komodifikasi yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, budaya di sini menjadi produk yang dikonsumsi. Kembali kita dapat melihat  bahwa praktik budaya dengan segala nilai tidak lagi merupakan proses etis, tetapi telah pula menjadi proses estetis karena praktik kebudayaan seperti ritual mengalami pergeseran menjadi salah satu bentuk rekreasi akibat bentukan kapitalisme. Dengan demikian, yang dikonsumsi dalam hal ini bukan esensi ritual itu sendiri tetapi citra ritual sebagai suatu sistem simbol.
Pada saat ritual/agama merupakan the work of art, meminjam istilah Georg Simmel (1991), ia menjadi private business. Hal ini sejalan dengan ideologi perbedaan yang ditegaskan oleh proses globalisasi di mana kecenderungan privatisasi agama merupakan konsekuensi logis dari kecenderungan umum (Bayer, 1991: 380, 393). Privatisasi ini tampak dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan masalah-masalah agama yang relatif bebas dari pengaruh “definisi” umum dan fatwa pemimpin agama. Individu di sini menjadi unit yang lebih otonom yang mempraktikkan agama tidak  hanya  berdasarkan  logika  berpikirnya  sendiri,  tetapi juga demand terhadap agama menjadi sangat bervariasi dan membutuhkan perlakuan yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dengan munculnya gejala “dekolektivasi spiritual” di dalam masyarakat untuk memenuhi kebutuhan individu. Hal ini juga menunjukkan bahwa sistem agama yang bersifat publik tidak cukup mampu bertahan akibat kebutuhan publik yang beragam dan berorientasi praktis.
Privatisasi agama dalam hubungannya dengan the work of art tidak hanya merupakan tanda dari menjauhnya agama dari kepentingan umum, tetapi juga memperlihatkan kecenderungan masyarakat dalam mempertanyakan kredibilitas agama (Berger, 1990), menyangkut apa yang dilakukan agama untuk kepentingan umatnya. Agama dalam hal ini, seperti dikatakan Beyer (1991: 377), harus mampu memberikan pelayanan tidak hanya dalam mendukung dan meningkatkan keyakinan agama pemeluknya, tetapi juga dalam memperluas implikasi agama di luar bidang agama itu sendiri. Dengan demikian, agama tidak hanya menegaskan fungsinya bagi umat, tetapi performancenya dalam memberikan solusi di luar masalah agama. Konsep function dan performance yang ditunjukkan oleh Peter Bayer, merupakan model yang menarik untuk melihat bagaimana agama mengkonsepsikan realitas. “Fungsi” menunjukkan pada aspek komunikasi agama, yang menyangkut pemujaan dan aspek sakral dari praktik keagamaan. Sedangkan “penampilan” lebih bersifat profane, yang mencakup aplikasi agama dalam bidang-bidang kehidupan yang lebih luas (Bayer, 1991: 379). Agama, seperti kebudayaan dalam arti yang luas, mengalami pemaknaan yang berubah sejalan dengan kepentingan-kepentingan yang makin beragam dan kompleks.


5. Deteritorialisasi Budaya dan Melemahnya Referensi Tradisional
Perilaku mobilitas merupakan perilaku yang paling menonjol sejak abad ke-20, dan akan semakin penting di abad-abad mendatang. Mobilitas ini pula yang telah mempengaruhi berbagai bentuk reorganisasi sosial, ekonomi, dan politik. Selain mobilitas merupakan bentuk reorganisasi ekonomi itu sendiri (karena merupakan perwujudan dari usaha mencari hidup yang lebih baik secara ekonomi), juga merupakan  tanda dari ketimpangan (ekonomi) regional dan nasional. Oleh karena itu, migrasi antar daerah, atau migrasi ke Arab Saudi, negara-negara semenanjung, Hongkong, Korea, menjadi fenomena  penting. Reorganisasi politik  juga dipengaruhi oleh  fenomena migrasi ini, termasuk  hubungan antarnegara yang ditentukan oleh keberadaan tenaga kerja, seperti ”pendatang haram”di Malaysia atau cara Singapura memperlakukan tenaga kerja Filipina, bahkan  para pengungsi Vietnam dan pelarian Jerman Timur yang semua itu merupakan persoalan yang mencolok di akhir abad ke-20.
Mobilitas ini terjadi pada level yang lebih mikro, di mana gerak orang terjadi secara meluas. Akibat transportasi yang dari hari ke hari semakin baik, hampir semua tempat dapat dijangkau dengan relatif mudah. Orang terbiasa bepergian meninggalkan  daerah asal, baik untuk sesaat maupun secara permanen. Lingkungan hidup kita terdiri dari kaum pendatang dari berbagai daerah yang bekerja dalam berbagai bidang pekerjaan yang beragam dengan tingkat  penghasilan  yang bervariasi , terdiri dari  para mahasiswa dan pelajar dari berbagai tempat dan latar belakang kebudayaan yang berbeda, para turis yang datang  dari berbagai negara, para pekerja asing, atau kelompok-kelompok manusia yang datang dan pergi. Gerak manusia semacam ini merupakan tanda perkembangan yang paling penting dalam rekonstruksi sejarah kehidupan (Appadurai, 1994).  Ciri mobilitas manusia semacam ini telah pula menyebabkan melemahnya kebudayaan asal, karena seseorang hidup di dalam lingkungan yang berbeda dengan wilayah kebudayaan yang berbeda. Definisi identitas tidak lagi terikat pada tempat karena di satu pihak seseorang telah keluar dari  wilayah kebudayaan baru. Kalaupun kemudian ia menjadi bagian dari lingkungan yang lain, maka proyek kesukubangsaan dan agama seseorang mengalami redefinisi dan reproduksi dalam bentuk-bentuk yang berbeda. Kecenderungan ini disebut Arjun Appadurai (1994) sebagai ”deteritorialisasi”, suatu proses  menghilangnya batas-batas kebudayaan. Kontrol sosial di dalam praktik sosial menjadi sangat lemah karena batasbatas legitimasi simbolik mengabur.
Pada saat batas-batas kebudayaan  menjadi tidak jelas, sistem referensi  individu di dalam menilai dan melakukan  sesuatu menjadi berbeda. Meskipun  kebudayaan global tidak secara langsung memberikan basis nilai di dalam  pengukuran sosial, tetapi jelas bahwa ukuran yang dipakai dalam menilai dan mempraktikkan sesuatu menjadi berbeda dan, sekali lagi, bersifat individual. Konfigurasi budaya dalam berbagai praktik mengalami perubahan  karena ruang sosial budaya sedang mengalami deteritorialisasi. Kontekstualisasi dalam hal ini tidak berlangsung karena pergeseran basis kebudayaan yang terjadi terus menerus. Kecenderungan individualisasi atau privatisasi kehidupan, karenanya, akan semakin jelas jika kebudayaan  (lokal)  tidak merespons situasi semacam ini, seperti dikatakan Peter Beyer dalam kasus agama.
”...religion will have a comparatively difficult time in gaining public influence at the level of global society as a whole; but such influence will be easier to attain if religious leader apply traditional religious modalities for the purpose of sub-societal....”(Beyer, 1991: 374).
Bagaimanapun sistem referensi tradisional, yang berasal dari budaya lokal dan agama, harus diperkuat bukan untuk meredam pengaruh kebudayaan global, tetapi lebih untuk  memanfaatkan  sebaik mungkin pertemuan dengan kebudayaan luar sebagai modal di dalam pengembangan kebudayaan lokal. Agama yang menyangkut substansi doktrin, nilai-nilai, dan pola tingkah laku dalam  keberagamaan merupakan “religious modalities” yang menentukan bagaimana dunia dengan perubahan-perubahannya dikonsepsikan  dan ditata. Pada saat pasar mengambil alih kekuasaan maka agama beralih dari sesuatu yang bersifat etis menjadi estetis. Agama tidak lagi mampu  memberikan referensi  bagi penataan sosial. Hal ini dapat menjadi ancaman yang serius dalam jangka panjang ketika keseimbangan spiritual sangat dibutuhkan dalam masyarakat yang terus berubah.
Globalisasi di Aceh telah menimbulkan beberapa hal, seperti pergulatan antara nilai-nilai budaya lokal dan global yang semakin intensif. Proses ini membawa akibat pada ketidakseimbangan, disorientasi dan dislokasi hampir pada setiap aspek kehidupan masyarakat. Pada saat yang sama  muncul sekulelarisme dan komersialisasi sebagai tolak ukur dalam kehidupan. Dalam konteks perubahan semacam ini, sangat dibutuhkan peningkatan ketahanan budaya yang ditentukan oleh sistem sosial dalam berbagai bentuk lembaga tradisional seperti gampong, desa adat. Keterikatan orang Aceh terhadap lembaga-lembaga tradisional tersebut baik secara sukarela maupun wajib, telah mampu berfungsi secara struktural bagi ketahanan budaya Aceh. Hal ini harus mengalami revitalisasi dan pemberdayaan kelembagaan untuk aktualisasi budaya secara lebih menyeluruh.
Cara sederhana dan defensif menghadapi globalisasi tersebut yaitu dengan memurnikan identitas Ke-Aceh-an. Praktik yang dilakukan adalah dengan memelihara kebersamaan identitas; melestarikan lembaga-lembaga tradisi seperti desa adat (desa-desa di Aceh); Gerakan yang sudah berlangsung selama ini perlu mengalami (1) identifikasi secara lebih jelas dalam bentuk dokumen kebijakan sosial; (2) aktualisasi dalam berbagai kebijakan dan tindakan dalam masyarakat; dan (3) penguatan melalui dukungan struktur dan kebijakan yang afirmatif.

6. Penutup
Untuk menuju pada masyarakat yang seimbang dan harmonis ada tiga tantangan penting yang dihadapi Aceh yang membutuhkan penyelesaian secara cerdas. Pertama, dinamika internal Aceh yang menyita banyak energi untuk pemecahannya. Globalisasi dan masuknya orang dan barang memberikan tekanan yang menyebabkan masyarakat Aceh kemudian berubah, seperti tekanan bahasa, penggunaan waktu, tipe pekerjaan, aktivitas waktu luang. Tekanan perubahan pada makanan, pakaian, seni, arsitektur, teknologi.  Tekanan perubahan pada kebudayaan hingga penafsiran pada sejarah lokal masyarakat Aceh terjadi secara signifikan. Pada saat yang sama di Aceh lahir juga organisasi kebudayaan dan masyarakat sipil. Mereka adalah kontestan lokal yang menjadi pionir penjaga kebudayaan yang sekaligus dapat menjadi potensi konflik. Beberapa kali tindakan sweeping terhadap pendatang terjadi dalam kerangka semacam ini. Persoalan dislokasi budaya sedang terjadi di Aceh di mana akar-akar kebudayaan mulai tercerabut yang kemudian memperlihatkan potensi konflik yang tidak bisa diabaikan. Dislokasi budaya melahirkan disorientasi dan kegelisahan psikologis yang memungkinkan munculnya ikatan-ikatan baru dengan kepatuhan yang baru. Masyarakat kemudian tidak lagi digerakkan oleh kepatuhan nilai adat dan budaya, tetapi kepentingan materialistik prakmatis.
Kedua, Aceh dalam keIndonesiaannya, khususnya bagaimana meletakkan Aceh dalam sistem sosial agama dan politik nasional, yang dalam beberapa hal merupakan minoritas. Kekuatan politik Orde Baru telah menghasilkan sebuah transformasi kuat untuk mengubah Aceh ke dalam “birokrasi kultural”, yakni semua tradisi dan warisan kebudayaan harus diproduksi dengan melibatkan pemerintah. Festival kebudayaan, seni, hingga ritual harus sesuai dengan bentukan negara. Tidak diakuinya identitas minoritas dalam pembangunan merupakan bentuk dekulturalisasi pemerintah terhadap warga negaranya. Bentuk dekulturalisasi tersebut tampak dari hilangnya rasa hormat dan toleransi masyarakat terhadap budaya minoritas atau hilangnya hak-hak kebebasan berpendapat  dan berekspresi dan hilangnya hak-hak praktik berkebudayaan kaum minoritas. Otonomi daerah di Aceh seyogyanya dapat menjadi momentum untuk menyelesaikan hubungan Aceh dengan Negara.
Ketiga, Aceh sebagai bagian komunitas internasional/global yang melahirkan paradoks Aceh, yang di satu sisi memiliki kecenderungan mengadopsi kebudayaan modern yang mendunia (kosmopolitan), namun di sisi lain juga mengalami proses parokialisme atau orientasi  yang terfokus pada lokalitas. Dengan kata lain, masyarakat Aceh yang sedang mengadopsi budaya modern tampaknya masih tetap berpegang kepada ikatan tradisi dansistem nilai yang dimilikinya. Bagaimanapun penetrasi nilai dan kepentingan internasional sangat kuat di Aceh, baik bersifat investasi ekonomi maupun politik. Kecenderungan dan perkembangan ini harus dikendalikan dengan kekuatan budaya yang lebih otoritatif untuk mampu membangun kemandirian sebagai jalan pembentukan masyarakat Aceh yang martabat dan berdaulat.
Ketiga corak persoalan merupakan prakondisi bagi lahirnya masyarakat baru yang meninggalkan Aceh yang asli, yakni suatu masyarakat yang memiliki sistem nilai jangka panjang yang terintegrasi ke dalam sistem dunia dengan seluruh orientasi ruang dan simbol dunia. Kepatuhan tradisional akan sulit untuk dibangun sehingga legitimasi tokoh adat dan tradisi akan mengalami gugatan. Masyarakat baru akan tumbuh dengan pola penataan baru yang terlepas dari pengelompokan primordial Aceh di Persimpangan Jalan menuju suatu pengelompokan berbasis gaya hidup yang menjauhkan interaksi sosial dari titik orientasi agama dan adat. Ketika pergeseran semacam ini terjadi, maka upacara menjadi pengalaman jauh dan pura menjadi sejarah masa lalu yang dihadirkan sebagai bagian dari nostalgia, agama dan budaya pun menjadi cerita.


* Fakultas Ilmu Budaya (FIB) - Universitas Gadjah Mada. E-mail: irwanabdullah6@gmail.com

Tulisan ini salah satu tulisan yang diterbitkan oleh 
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, dalam Buku PKA-6  2014